Jumat, 29 September 2017

Allah membalikan keadaannya






Kami berteman sudah lebih dari tiga puluh tahun, tempat kerja yang mempertemukannya. Kita sering  dinas keluar kota bersama dan itu terjadi  sejak  masih sama-sama gadis belia. Tak sengaja kita  membeli rumah di daerah yang sama dan ternyata  tinggal   bersebelahan, bahkan tembok samping kita saling menempel.

Melihat secara lahiriah keduanya biasa saja, sang suami bekerja di perusahaan penerbangan terbesar di Indonesia, sebagai flight enginer. Saat baru pindah    kami sering ngobrol dibelakang rumah. Duluuu….masih pake pompa tangan dan kalau lagi nyuci kita sambil ngobrol,  dia selalu numpang menjemur pakaian di jemuran samping rumah yang dibuatkan suami. Tapi lama-lama ada aja yang dimintanya, mulai dari sabun cuci, bumbu dapur dan lainnya. Bahkan menguasai jemuranku, dia bilang “kamu jemurnya setelah baju-bajuku kering, karena takut   kecampur sama baju-baju kamu” Pertama aku diam dan mencuci  kalau dia tidak mencuci, tapi lama-lama kesel juga.  Itu kan jemuran  punya ku, kenapa aku yang harus tersingkir. 

Suatu hari aku menjawab saat aku nggak boleh menjemur baju karena dia mau menjemur. “Yaaa…jangan jemur di sini lah kalau takut kebawa aku”  hihiiii..aku ketawa dalam hati, emang mau jemur di mana dia. Alhamdulilah dia nggak jawab apa-apa dan menjemur ditempat kosong setelah aku menjemur.

Seminggu setelah menikah aku   pindah ke rumah ini. Rumah yang  aku beli setelah setahun bekerja. Walau  beli dengan cara dicicil, tapi  hasil keringat sendiri.   Maklum rumah tangga baru, masih kosong alias belum banyak isinya.  Utamanya  ada tempat tidur, lemari baju, meja makan dan alat-alat dapur. Ruang tamu cukup pakai karpet & aku baru bisa merenovasi kamar mandi aja, tapi belum sanggup bikin pagar. Tetangga juga baru  tiga  orang dari lima belas rumah saat aku pindah, bahkan listrik belum masuk rumah. Tapi Pak RT baik hati, dia mencantolkan listrik dari tiang listrik di depan rumah dan taraaa…..terang deh. Maklum rumah KPR, kendaraan baru ada becak untuk keluar komplek. Untung ada jemputan setiap kerja, jadi nggak repot cari angkot. Itu kondisi pada tahun delapan puluh empat dan sekarang sangat strategis, karena dikeliligi mall, jalan tol, bahkan mau kemana aja sangat mudah aksesnya.

Seiring berjalannya waktu ekonomiku mulai stabil, tapi belum selesai dalam membantu biaya adik-adik sekolah. Ya udah…yang penting ada tempat berteduh, renovasi nanti aja kalau udah ada biaya yang penting nggak ada yang bocor…hehehhe….Sementara tetangga sebelah rumahnya hampir selesai direnovasi, kendaraan roda empat baru  juga terlihat parkir didepan rumahnya. Ngiri?.....maaf nggak ada dalam kamusku rasa itu, aku sudah biasa dididik untuk berjuang setiap ingin mendapatkan sesuatu. Nanti akan tiba waktunya. 

Naah…pada suatu siang, aku sowan ke rumah sebelah ingin lihat rumahnya setelah direnovasi. Setelah melihat-lihat, aku iseng aja tanya “Habis berapa nih?”  
“Waah… kamu nggak bakalan mampu deh  kalau aku sebutin.”   Suaminya juga ikut nimbrung, “Tau dunk gimana orangtuaku. Tempat tinggal aja didaerah elit di Jakarta.” Hehehehe…..aku hanya tertawa mendengar jawabannya.

Allah memang mboten sare, dia ternyata harus resign karena telah berbadan dua. Namun menurut aku, toh suaminya masih bekerja dan dia nggak menanggung biaya adik-adiknya.  Tapi ternyata penghasilan suaminya tidak sebesar istrinya,   ekonominya mulai goyang. Loh kok aku tau sih?......Taulah, karena  dia mulai mengganggu aku. Minta ini, minta itu, bahkan berani membuka tutup saji meja makanku dan mencomot masakanku. Ealaaah…..norak banget sih! Apalagi ditambah anak pertamanya lahir dan air susunya tidak keluar! Bayangin beli susu, udah bikin dia puyeng kepala. Akhirnya terjadilah tragedi rumah tangga, mulai sering cekcok dan setiap terjadi dia larinya ke rumahku. Bener-benar ngga beruntungnya aku…hihihi.  Sejauh ini ya aku berusaha untuk membantunya, terutama mengurus anaknya kalau mereka sedang cekcok.  Ternyata cekcok tersebut makin hari makin hebat, ibaratnya nggak ada hari tanpa cekcok dan telah sampai ke telinga orangtua si suami.

Kemana orangtuanya bercerita saat datang?... Sama aku dan minta tolong memantau keadaan rumahtangga anaknya untuk dilaporkan ke mereka. Yuhuuuuu….aku dan suami berpandangan, lalu meluncurlah kekesalan sang ibu mertua.  “Rumah sudah dibagusin,  minta beli mobil  juga dibeliin. Kok hasilnya seperti ini?” Keluh sang mertua dan aku hanya senyum sambil mendengarkan tumpahan hatinya. Ternyata  si suami anak pertama, memiliki  enam adik dan orangtuanya tajiiiiir. Aku iri?.... Sekali lagi TIDAK! Aku bahkan bangga telah dididik orangtuaku untuk bisa mandiri, menapaki hidup rumah tangga dari bawah dan berusaha membangun dengan keringat sendiri. Lebih nikmat rasanya, tanpa merepotkan orangtua setelah berumah tangga. Kalau bangga dengan kekayaan orangtua..yaa..percuma.

Aku malah bangga dapat mandiri dan merintis rumah tangga dari bawah tanpa merepotkan orangtua. Saat aku pindah rumah, ada beberapa alat rumah tangga yang akan disediakan orangtuaku, tapi aku tolak dengan halus. Aku hanya ingin berusaha  sendiri,   aku hanya butuh doa restunya saja   agar bisa membangun rumah tangga ini sampai maut memisahkan.  Dalam benakku, merintis hidup dengan perjuangan bersama sesuai rencana kita berdua. Hal ini tentu akan memberikan pelajaran terbaik buatku dan suami, seperti yang selama ini dajarkan kedua orangtuaku.

Akhirnya aku   bersedia menjadi penengah, untuk memenuhi permintaan kedua mertuanya. Aku tulus  membantu, dia kan temanku. Setiap saat sang mertua menghubungi aku untuk mengetahui perkembangan hubungan anaknya, dan allhamdulillah akhirnya damai kembali. Namun kesombongan masih saja diperlihatkan. Menanggap dirinya anak orang kaya  yang rumah orangtuanya  terletak di daerah elit di Jakarta, terus saja diikrarkan kesemua orang. Hampir  semua tetangga pernah diajaknya   cekcok, tapi setelah mengetahui karakternya  mereka maklum dan nggak melayani.

Kejadian besar menimpa suaminya yang tiba-tiba dipecat dari tempatnya bekerja, karena sering ribut dengan melakukan demo.  Untungnya masih diberikan uang pesangon, tapi uang kesehatan dan pension diambil semua sekaligus. Terus…tau apa yang dilakukannya?....dia hidup laksana bergelimangan harta, setelah uang habis dia berusaha mencari pekerjaan kembali. Namun sayangnya, kalau bukan sebagai manager, semua ditolaknya. Setelah  tiga tahun menganggur, temanku mulai mencarikan pekerjaan untuk suaminya ke teman-temannya. Sayangnya, berita tentang kelakuan suaminya sudah banyak diketahui orang dunia penerbangan.  Tidak satupun  perusahaan   yang  bersedia  menerimanya. Sementara yang menopang kebutuhan hidup sehari-hari, anaknya yang telah bekerja di kapal pesiar dan bantuan orangtuanya.

Terus saja seperti itu, sementara teman-teman kantor seangkatannya telah hidup lebih mapan, bahkan melebihi dirinya.  Dia tetap hidup bergaya borju yang mengandalkan orangtua, anak-anaknya kuliahpun ditanggung orangtuanya. Namun tidak ada perubahan sikap yang terlihat, sementara hutang di mana-mana termasuk kepada ku. Setelah ibu mertuanya meninggal, dia mendapatkan warisan uang tunai sebesar 1M (menurut cerita maminya, saat aku jenguk di rumah sakit). Berapa besarpun uang yang diberikan, pasti akan habis dan itu pun demikian. Dua tahun uang ludes, akhirnya tanpa malu pinjam uang kesana-kemari. Bahkan kepada orang-orang yang dulu dia hina, dan rela menipu tetangga dengan banyak dalih.  Kemarin istri teman kantor suaminya, cerita padaku. “Dulu aku dihina karena dari kampung dan sering suamiku dibodoh-bodohi. Sekarang dia nggak malu minta uang sama suamiku. Ternyata Allah membalikkan keadaanya, sekarang dia berada dibawah dan mungkin inilah buah dari kesombongannya”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar