Makam anak pertamaku
Menunggu adalah pekerjaan yang membosankan,
tapi menanti hadiran buah hati ga pernah ada kata bosan. Tahun pertama berlalu tanpa disadari, karena kami sibuk dengan pekerjaan
masing-masing. Kami santai aja melalui hari-hari berdua dan juga ga pernah
berusaha untuk konsultasi ke dokter. Hal ini dilakukan, karena menurut suami
bersabarlah. Sangat mudah kalau Allah akan memberi rejeki dan kepercayaan untuk
menitipkan kepada kita, tapi kalau waktunya belum tepat ya bersabarlah.
Memang ada benarnya, mungkin
Allah memberikan kesempatan kepada aku dan suami untuk melalui masa-masa
bersama dengan saling mengenal lebih baik lagi. Mungkin ini juga kesempatan
kami untuk membantu keluarga kami berdua dan memantapkan keuangan rumah tangga
baru ini. Memang seminggu setelah menikah, aku langsung pindah. Kebetulan aku
telah memiliki rumah sendiri dan kita benar-benar memulai semuanya dari nol.
Berdua menata rumah dan sedikit demi sedikit mengisi perabotan yang dibutuhkan.
Tahun kedua kita lalu juga dengan
bahagia dalam mengecap kehidupan baru menjadi keluarga yang hanya tinggal
berdua. Untungnya orangtua aku ga ada yang pernah menanyakan, kapan kami punya
momongan. Mungkin itu yang membuat aku dan suami santai aja dengan kondisi ini.
Apalagi aku juga sibuk dengan dinas-dinas keluar kota dan pada perjalanan
dinasku kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Nafsu makanku menghebat dan maunya
ngemil, padahal ini bukan merupakan kebiasaanku sehari-hari. Sampai-sampai baju
yang aku bawa sesak saat aku gunakan, padahal aku masih lima hari lagi di kota
ini. Suatu pagi saat kita sarapan, ketua tim pada tugas ini tiba-tiba bilang “
kamu hamil ya?” dengan cepat aku
jawablah, “ngga”.
Omongan itu terus saja mengiang,
kuurut keanehan yang aku alami. Makan luar biasa banyak & ngemil ga boleh
putus, kalau putus kepalaku senut-senut pusing. Pada saat istirahat siang,
ketua tim seperti penasaran dan bertanya lagi. “Kamu belum haid kah bulan ini?” aku gelagapan mendengar pertanyaan ini.
Maklum aku ga ingat, karena aku haid hanya 3 kali dalam setahun dan lupaaaaa kapan
terakhirnya... Jadi ingin cepat-cepat pulang dan teman-teman memberi saran
untuk cek ke dokter, tapi aku maunya ngecek bersama suami.
Saat pulang aku langsung ke dokter
dan suami aku minta menyusul ke tempat prakter dokter langgananku. Ternyata
oooo….ternyata, aku memang positif hamil dan udah sepuluh minggu. Alhamdulillah
yaaa Rabb, akhirnya Kau percayakan kami untuk Kau titipkan ciptaanMu. Memang
aku tidak merasakan mual tapi kalau berhenti ngunyah, kepala pusing..hahahhaa…katanya
hamil kebo. Menginjak usia kehamilan 33 minggu, air ketubanku pecah dan saat
itu aku sedang ada dirumah kakak. Secepatnya aku dibawa ke kilinik dan karena keterbatasan
fasilitas klinik, akhirnya aku dipindah ke rumah sakit besar tapi langsung masuk
ICU. Menurut dokter aku kena pre ekslamsi dengan tekanan darah 220, tapi aku ga
merasakan apa-apa. Setelah tekanan darahku normal, aku langsung di operasi dan lahirlah anak pertamaku. Dengan berat
hanya 1.950 gram dan panjang 48 cm.
Tentu saja kami sangat bahagia,
anak yang dinanti selama beberapa tahun akhirnya kami miliki. Aku masih
ditempatkan di ICU pasca operasi dan si baby masuk incubator, tapi saat aku
dipindah ke ruang perawatan biasa malah anakku dalam kondisi kurang baik. ASI
diberikan melalui selang yang terpasang di hidungnya, jarum infus menembus
pangkal paha dan kepalanya. Aku dan anakku setiap hari terus saja dicek
darahnya, terakhir kami diambil darah pada jam sepuluh malam. Itulah
pengambilan darah terakhir untuknya dan jam tiga pagi anak lanangku diambil
pemiliknya.
Pagi ini ada yang aneh aku
rasakan. Biasanya sehabis subuh suami udah membawakan aku makanan, tapi sampai
jam sembilan ga ada satuupun keluargaku yang datang seperti biasa. Keanehan
lain tepat jam tiga pagi saat anakku dipanggil keharibaannya, seperti ada
sesuatu yang jatuh di dadaku dan air suusuku mengucur deras. Kamarku tampak
sepi, karena ga ada yang masuk seperti hari-hari biasa. Hal ini membuat curiga,
lalu kakak suami yang kebetulan bidan di rumah sakit tersebut masuk sambil
menangis. Terlihat dibelakangnya dokter anak dan dokter kandunganku juga
menghampiriku dan akhirnya terjawablahh semua pertanyaanku. Anakku meninggal
tadi pagi jam tiga. Aku menangis dan ingin segera pulang untuk melihatnya untuk
terakhir kali, tapi dokter kandunganku melarangnnya. “Pikirkan kesehatanmu.”
Aku tetap minta pulang dan akhirnya dokter anak yang sejak tadi hanya diam
saja, tampil bicara dan mengatakan: “Bu…..seandainya anak itu hidup, dia akan
menjalani by pass jantung sebanyak tiga kali pada usia 7, 9 dan 12 tahun. Anak
tersebut juga tidak boleh menangis lama dan aktivitasnya harus dibatasi untuk
menghidari kelelahan yang berlebih. Apakah ibu sanggup untuk melakukan itu?.” Aku terdiam dan merenungi paparan dokter
anakku. Pelan-pelan, akhirnya aku dapat menerima dan mengatakan, “mungkin itu
jalan terbaik untuk anakku.”
“Alhamduulilah kalau ibu bisa
ikhlas, tapi saya sudah jadi korban bapak. Tadi pagi saya sempat dipukul bapak
waktu anak ibu dinyatakan meninggal,” kata dokter anakku.
Sore saat suami datang aku minta
dia menceritakan kronologi kejadian semalam sampai pemakamannya. Semua berjalan
lancar, tapi aku jadi sama sekali ga ingat nama anak kita yang telah kita buat.
Akhirnya keluarga memutuskan menggunakan nama bulan kelahirannya dan ditambah
nama aku. Genap satu minggu usianya saat dia diambil kembali olah Sang Pemilik
Hidup. Aku pulang dan ingin segera melihat makamnya, tapi apa yang terjadi? Aku
pingsan diatas pusara anakku. Makam itu
bolong karena tanahnya amblas karena diguyur hujan dan aku merasa hatiku
hilang, lalu ga ingat apa-apa alias pingsan. Sejak itu aku dilarang mengunjungi
makam sampai aku benar-benar siap.
Suami sakit dan harus istirahat
selama satu bulan, karena stress sampai mengganggu jantung. Aku sendiri tetap harus didampingi, karena sering
kali berteriak-teriak kala sedang tidur. Jadi kami seperti pasien yang perlu
ditunggu. Dokter kandunganku sampai
seringkali menghubungiku untuk menghibur. Setelah mengadakan peringatan
empat puluh hari kepergian anakku, aku harus move on dan ga bisa seperti ini
terus. Aku memaksa untuk mengunjungi makam anakku dan bertekad, aku harus kuat,
harus!. Bersama suami aku bersimpuh dipusara anak lanangku, memanjatkan doa
untuknya dan kelak aku mohon dapat bertemu diakhirat nanti.
Masa cuti hamilku masih satu
setengah bulan lagi, dan itu bukan waktu yang sebentar. Apalagi tanpa anak,
tentu ga baik kalau aku di rumah. Aku harus bangkit dan dan ga seperti ini dalam kesedihan yang tak
berujung. Aku minta suami untuk
mengatarkan ku ke kantor agar aku bisa masuk kantor kembali, walau belum
waktunya masa cutiku berakhir. Aku memutuskan untuk masuk bekerja saja dan
mengakhiri masa cuti hamilku, agar tidak ada waktu untuk banyak merenung.
Alhamdulillah sedikit demi
sedikit aku dapat menghalau rasa sedih dan terhibur dengan teman-teman di
kantor. Suami juga sudah berangsur sembuh.
Kami jalani semua ini dengan sabar dan In sya Allah kami bisa melewati
cobaan ini. Pelan tapi pasti, kami mulai move on untuk aktivitas seharian
seperti biasa. Bahkan sebagai gantinya
aku lulus tes masuk perguruan tinggi dan dari kantor hanya tiga orang yang
berhasil lulus dari ratusan yang ikut. Mungkin ini yang Allah telah rencanakan
untukku, dengan diambilnya anak pertamaku.
Disamping sibuk bekerja dan
kuliah, aku terus mengembangkan diri. Pelan tapi pasti aku dan suaminya
akhirnya dapat benar-benar move on ke arah yang leih baik. Pada semester empat
Allah memberikan aku ganti dengan lahirnya putra kedua kami yang sehat.
Kebahagiaan memenuhi segenap relung hati kami, puji syukur tak henti-hentinya
kami panjatkan atas titipan yang dipercayakan kepada kami. Alhamdulillah pada
tahun 1994 lahir putri kami, walau sebelumnya aku kehilangan lagi anak ketiga.
Kini yang kumiliki anak yang bernomor genap saja, sementara anak pertama dan
ketiga diambil kepada pemiliknya Allah SWT. Saat ini di kakak sudah 27 tahun
dan si adik 22 tahun, keduanyan telah bekerja. Ternyata Allah menggantikan kebahagian setelah
duka berlalu.
#Sekolah_Perempuan#