Rabu, 27 Desember 2017

MARI MENULIS DAN INILAH DUNIA KU


Buku antologi ke duaku terbit, karena 3 artikelku terpilih menjadi pemenang, buku tersebut istimewa karena kata pengantarnya diberikan oleeh Menteri Sosial RI & Helvy Tiana. Dalam suatu kesempatan aku bertemu dengan Bu Kofifah dan mendapatkan tanda tangan beliau di buuku tersebut.

Dunia literasi begitu melekat diriku
Kesenanganku membaca buku dan menumpahkan kisah dalam buku harian, aku tenggarai sebagai pemicu utama terjunku di dunia tulis menulis.

Awalnya aku ngga ngerti apa itu tulis menulis, taunya hanya buat cerpen dan beberapa kali jebol di majalah remaja, terbit bo! .....Itupun masih dengan tulisan tangan ngirimnya. Alhamdulillah....lumayan dapat uang jajan sesekali.

Ternyata itu berlanjut dan aku mendapat wadah, tapi lebih banyak ke jurnalis. Meliput berita dan menurunkannya dalam majalah inhouse magazine, aku beberapa mengikuti pelatihan menulis dan mengantongi beberapa sertifikat. Yang paling bergengsi saat sekolah Jurnalis di Dewan Press, dengan pengajar wartawan senior termasuk Pak Yakoep Oetama.

Makin terasah aja kemampuanku dan tahun 2012 bertemulah aku dengan komunitas Ibu ibu Doyan Nulis, yang keren abis dan baru pertama aku temui. Aku ikut kembali pada program training menulis yang lengkap. Mulai menangkap ide, penjabaran sampai editing & hal ini membuat siswa bisa menulis buku dengan baik dan benar tentunya.

Namun sayang buku soloku belum terbit, tapi 3 buku antologi brojol berbarengan karena memenangkan lomba. Saat ini udah hampir 10 buku antologiku lahir bersama teman-teman.

Ada yang mengatakan aku penulis edan, ada pula yang mencibir dengan ucapan tulisannya ga mutu. Ya....itulah manusia, ada yang suka dan tidak suka. Bahkan aku menjadi one man show dalam menerbitkan inhouse magazine. Pekerjaan harus diselelsaikan tapi tidak pernah mendapat dukungan sama sekali. Dan yang menyedihkan lagi, melihat orang yang ngga mengerti tapi merasa paling tau dalam penulisan....hehehee..intinya kewajiban tetap harus aku laksanakan dan mereka melihat hasilnya toh.

Tapi aku tak peduli dan jalan terus, karena dengan tulisan aku bisa meninggalkan jejak buat siapa saja, terutama anak-anakku. Tulisan itu banyak bercerita tentang kehidupan dan dapat dijadikan cermin dalam menjalani hidup bagi siapa saja yang membutuhkan. Alhamduulillah artikel sudah bertebaran ku hasilkan.

Aku berharapbuku-buku ini dapat aku wariskan kepada anak cucuku dan semoga buku soloku segera lahir. Aamiin yra.

Menulis itu merupakan penyembuh luka, obat hati, mengelola pikiran dan melahirkan karya yang bermanfaat bagi orang lain.
Ada beberapa antologi yang telah terbit dan belum aku terima dari penerbit. Saat pensiun hobbiku ini makin tersalurkan dan aku salut dengan para penulis muda yang luar biasa dan belajar bersama, berbagi ilmu di berbagai komunitas. Terima kasihku untuk Mba Indari Mastuti, Mba Ana Farida, Mba Ida Fauziah, Mba Ummi Aleeya dan banyak lagi yang sabar ngajarin nenek menulis yang baik dan benar.

Di komunitas ini aku mengetahui kalau aku sudah pernah menjadi Gosh Writer, saat menulis buku untuk pimpinan perusahaan tempatku bekerja. Menjadi reporter dan wartawan, walau hanya di inhouse magazine dan beberapa nama yang baru kenal tapi dulu pernah aku lakukan. Seruuuu dan asyyiiik....

ANAK PEREMPUAN NGGAK PERLU SEKOLAH TINGGI-TINGGI





Jika aku mengingat sosok yang telah melahirkanku, beragam rasa berbaur mengharu biru memenuhi kalbu. Belum lagi dosaku kepadanya, layaknya buih dilautan. Aku sering  merenung, apakah cukup permohonan maaf dan ampunku ke Ibu atas semua salahku? Aku percaya Ibu pasti mengampuniku, terlihat dari sorot matanya di detik-detik kepergiannya.  



Sepulang dari rumah sakit ibu minta aku yang menjemputnya, dengan mobilku dan harus  aku yang menyetir. Ternyata ibu minta dibawa jalan-jalan  naik turun jalan semanggi, melihat sarinah dan sebelumnya mampir di monas  menyakskan air mancur joget. Padahal ibu hanya bisa duduk bersandar di mobil dan menikmati semua itu dari jendela mobil. Keluar dari rumah sakit jam dua siang, baru sampai rumah jam Sembilan malam dan itu hanya aku berdua. Ibu menyuruh perawat menelpon aku di kantor dan memintanya datang.  Aku senang mendengar ceritanya saat meminta memutari jalan semanggi, ibu masih ingat saat membawa anak-anaknya dengan motor harly yang ada boncengannya di samping & membawa aku dan adik-adik  JJS ke semanggi. 

Diantara selusin anaknya, hanya aku yang paling berani menentangnya. Kami terdiri dari tujuh anak perempuan dan lima anak laki-laki, hampir semua takut dengan ibu.  Aku  menentang prinsip yang dianut ibu, yaitu “Anak perempuan ngga perlu sekolah tinggi-tinggi, yang penting bisa baca tulis. Percuma sekolah tinggi-tinggi, nanti larinya ke dapur juga. Ngurus suami, anak dan rumah tangga.”

Aku ngerti, jaman itu masyarakat  berpikir seperti itu. Anak perempuan tidak diberi kesempatan untuk mengenyam pendidikan setinggi-tingginya, karena  pencari nafkah adalah anak laki-laki. seringnya perkataan itu diucapkan, terutama kepada kakak-kakakku yang perempuan.  Akhirnya terpatri dibenakku dan menimbulkan pertanyaan. Kenapa anak perempuan ngga boleh sekolah tinggi? Dan pertanyaan itu akhirnya terlontar dari mulutku yang membuat ibu marah. Saat  itu aku  masih  kelas 5 SD, karena  aku   senang membaca membuat  pikiranku berkembang dan  terbitlah  keinginanku untuk bisa kuliah.

Aku nggak memungkiri kalau ibuku adalah orang yang hebat dan sangat luar biasa, bahkan cara mendidik anak-anaknya yang awal-awalnya menurut  kami  kejam, ternyata kami salah menilainya. So…kenapa sih kami, anak-anaknya sampai tega mengatakan ibu kejam dalam mendidik?  Bayangkan saja mulai kelas 4 SD, setiap anak sudah mulai mendapat tugas menyapu dan mengepel seluruh rumah. Aturan itu berlaku untuk semua anak, tidak pandang anak laki-laki atau perempuan, padahal kami punya dua asisten rumah tangga. Setiap tahun pekerjaan  tersebut akan meningkat, ditambah dengan mencuci piring.

Saat kelas enam SD kita sudah harus bisa memasak nasi yang   menggunakan dandang dengan kukusan, maklum belum ada rice cooker atau magic jar seperti jaman now. Kesal?...pasti, belum lagi harus pula momong (mengasuh) adik. Pokoknya kegiatan tiap anak seperti sudah terjadwal sejak bangun tidur, sampai akan tidur kembali.

Ketika SMP mencuci baju sekolah menjadi kewajiban masing-masing anak, terus seperti itu sampai setiap anak bisa mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan mengurus anak.  Tiga  kakak perempuanku semua manut dengan keyakinan ibu dan mereka hanya sekolah sampai SMP dan sekolah madrasah untuk memperlancar mengaji sambil menanti jodoh datang.

Aku berusaha mencari jalan agar dapat terus bersekolah, Alhamdulillah otakku encer dan selalu masuk tiga besar. Hal itu aku manfaatkan untuk bisa bernegosiasi dengan ibu dan salah satu yang memuluskan jalanku adalah kesibukan ibu, sehingga aku bisa melenggang ke SMA. Ceritanya ketiga lulus SMP, nilaiku memuaskan dan dapat masuk di SMA negeri tanpa repot. Aku hanya bilang minta uang untuk beli seragam   dan buku baru, terdaftarlah aku di SMA negeri. Nanti kalau ibu akhirnya mengetahui, aku sudah membicarakan ini dengan bapak yang siap membantuku.  Ternyata  ngga mudah menghadapi ibu dengan prinsipnya, tapi aku ngga mau menjadi korban seperti tiga orang kakak perempauanku yang menikah diumur 17 tahun.  Dengan bantuan bapak, akhirnya  berhasil…….hehehehe.

Alhamdulillah aku di SMA mendapat beasiswa setiap bulan, uang itu aku pergunakan untuk membayar  uang sekolah dan keperluan lain. Biar ngga ke marah kalau aku minta uang. Namun perjalananku untuk bisa kuliah, ternyata harus terganjal dan gagal. Aku mendapatkan  tiket khusus masuk di sebuah perguruan tinggi negeri, karena prestasi yang aku ukir.  Tapi kehendak Allah berkata lain, ibu tidak mengijinkan, apalagi diluar kota. Aku merengek untuk bisa lanjut kuliah, tapi ibu akhirnya mengatakan :
“Kalau kamu kuliah, adik-adikmu ngga bisa lanjut sekolahnya”

“Duh Gusti,” aku ngga bisa ngomong apa-apa dan hanya air mata yang menganak sungai menandakan kekecewaanku. Aku harus kuat dan bisa move on, ternyata Allah telah menyediakan rencana lain untukku. Aku diterima bekerja di perusahaan besar dengan gaji yang lumayan. Aku bertekad dalam hati, suatu saat aku akan bisa kuliah dan aku harus bisa menyelematkan adik-adikku terutama yang perempuan untuk bisa terus bersekolah. Ibu juga mulai mendukung adik-adikku untuk terus bersekolah.

Akhirnya aku dapat mewujudkan cita-citaku untuk kuliah dengan biaya sendiri. Betapa mata ibu berkaca-kaca saat menghadiri wisuda kelulusannku. Ibu memelukku dan membisikan kata-kata “Ibu bangga padamu yang begitu gigih minta sekolah dan kuliah. Begini rasanya bahagia menyaksikan anak ibu di wisuda, sekolahkanlah  cucu-cucu ibu nanti setinggi bintang dilangit.” Ucapnya sambil menciumku.

Pelajaran dan didikan Ibu kepada anak-anaknya yang dulu kita bilang kejam.  Ternyata saat kita menikah semua pelajaran itu sangat berguna, aku bisa mengurus rumah tangga, memasak, mengurus anak dan urusan rumah tangga lainnya. Terima kasih Ibu, untuk  semua  pelajaran yang telah kau berikan. Memang semua  itu  harus dipaksa agar kita dapat mahir  mengerjakannya. Dan aku telah melaksanakan kan pesanmu, cucu-cucumu kubiarkan mereguk pendidikan setinggi yang mereka inginkan.

Sabtu, 16 Desember 2017

CABE-CABEAN


Namanya saja cabe-cabean, jadi bukan cabe beneran. Judul tersebut hanya sebuah simbul untuk sebuah nama kelompok tertentu. Saya pagi tadi mengikuti acara yang disiarkan oleh sebuah TV swasta, tentang “Pergaulan bebas anak remaja saat ini.” Jadi kisahnya kira-kira begini :
Menjamurnya café yang dikhususkan bagi remaja saat ini, berdampak negative bagi anak-anak remaja tingkatan SMP & SMA.

Memang tempat tersebut dipenuhi oleh remaja-remaja yang berkantong tebal dan mereka hanya mencari kesenangan dengan bergaul secara bebas. Untuk remaja yang baru terjun ke lingkungan ini, diberi nama “cabe merah” yang artinya belum mengerti aturan mainnya di kelompok ini atau anak baru. Nama selanjutnya “cabe rawit” yang sudah cukup biasa dengan lingkungan ini, sementara “cabe hijau” adalah mereka yang sudah senior dikelompok ini (sudah biasa dengan minuman beralkohol dan sex bebas).
 
Menurut seorang penelitinya, kelompok ini tidak mencari uang karena rata-rata anggotanya adalah anak-anak orang mampu yang membutuhkan perhatian. Yang menyedihkan mereka juga menyediakan jasa bagi oom-oom yang kesepian dan biasanya yang ditawarkan adalah kelompok cabe merah, sebagai ajang belajar.

Yang paling mengejutkan dari penelusurin ini adalah : remaja yang terjun dikelompok ini telah mencapai 34-40 %. Hal ini tentu membuat saya selaku orang tua mengurut dada dan berulang-ulang mengucap istiqfar, kelompok ini bukan hanya mencari kesenangan diakhir minggu saja, tetapi setiap malam yang nota bene hari dimana mereka seharusnya belajar.

Menurut seorang psikolog, remaja-remaja tersebut hanya meminta perhatian lebih dari para orang tua yang sibuk dan tentunya bimbingan moral yang telah raib. Berbagai cara para remaja ini untuk pamit keluar pada malam hari kepada orang tuanya, sementara orang tua tidak benar-benar mengetahui dan mengecek keberadaan anak mereka.
 
Untuk mengembalikan anak-anak tersebut, ada beberapa saran yang  perlu diperhatikan para orang tua :
- Sediakanlah waktu untuk mengobrol kepada putra-putri remaja anda.
- Banyak berkomunikasi dengan para guru untuk mengetahui kegiatannya di sekolah dan kenali siapa saja teman-temannya.
- HP/tablet dll yang anda berikan tentu yang sudah canggih, tapi bukan digunakan untuk lebih mengintensifkan komunikasi kepada orang tua, tetapi lebih asyik berselancar pada situs-situs yang mungkin membahayakan tanpa orang tua ketahui.
- Banyak orang tua yang mengatakan gaptek, tapi tidak mau belajar untuk tidak gaptek. Seharusnya demi menjaga putra-putri anda, jangan bosan & malu untuk belajar perangkat komunikasi tersebut canggih tersebut.
- Jika anak-anak anda mempunyai jejaring social, orang tua juga harus punya untuk memantau status dan teman anak-anak anda. Tegur apabila statusnya atau temannya yang kurang patut.
 
Bukan hanya orang tua SAJA yang harus berbenah diri, tapi pemerintah juga harus turun tangan untuk memberikan teguran kepada pengusaha café yang menyalahi ketentuan. Agar anak-anak kita bisa selamat dari pergaulan yang menjerumuskan hidupnya.
 
Untuk para Ibu-ibu hebat : tidak ada kata terlambat, tidak ada kata malu dan tidak ada kata ga tau, apalagi gaptek. Hayo asah terus wawasan untuk membimbing anak-anak kita di era komunikasi yang sudah canggih ini. Saya yakin, para ibu lebih canggih dalam membimbing dan mengurus putra-putrinya. Semoga bermanfaat.