Senin, 16 Mei 2016

RUMAH DINAS BUKAN WARISAN




                            Semoga hal ini tidak terjadi lagi, ingatlah bahwa rumah dinas bukan warisan


Saya besar di lingkungan komplek ABRI, anak kolong kata gaulnya. Pokoknya dari dibrojolin sampai dewasa ya tinggal di rumah dinas & keluar setelah menikah. Maklum bapak seorang anggota TNI yang mendapat fasilitas rumah tinggal untuk kami sekeluarga. Awalnya kami tinggal di komplek ABRI di daerah Jakarta Pusat  yang lokasi tidak jauh dari kantor bapak. Rumah peninggalan belanda dengan 2 kamar tidur yang sangat besar, karena kami keluarga besar setiap  kamar diskat menjadi 2, jadilah kami memiliki 4 kamar yang diisi dengan tempat tidur tingkat agar semua anak mendapat tempat. Dibagian depan rumah bapak menambah 1 kamar lagi untuk anak yang sudah besar. Selain rumah fasilitas lain yang di dapat bagi anak-anak komplek yaitu pemutaran film sebulan sekali, itu kira2 tahun tujuh puluhan. Memang hiburan belum ada. Selama tinggal dikomplek setahu saya bebas dari membayar listrik & PBB, bahkan sarana olahraga tersedia bagi anak anak. Ada lapangan bola, volley & badminton.
Dulu anak anak komplek sering terlibat perkelahian antar komplek ABRI, makanya terkanla kalau anak-anak kolong itu nakal-nakal katanya hehehhehe……..sebenarnya bukan nakal tapi mau menunjukan jati diri siapa yang paling kuat diantara komplek ABRI yang ada. Gitu kali ya…..

Ketika saya duduk di akhir SMA, kami dipindahkan ke komplek ABRI yang dulu itu kita sebutnya tempat jin buang anak, karena sangat jauuuuh. Belum ada listrik, angkutan umum juga susah. Jadi kami berangkat sekolah ikut numpang di mobil jemputan orangtua kami, sampai bisa menyambung dengan angkutan umum. Bayangkan dari pusat kota dipindah ke pedalaman…hehehhe…bapak mendapat rumah di hoek dengan kelebihan tanah yang lumayan, karena semua ukuran rumah sama hanya 2 kamar & yang membedakan kami mendapat kelebihan tanah. Bapak segera menambah kamar untuk anak-anaknya yang julahnya ruar biasa…..wkwkwkkwk…..Disini kami mulai membayar listrik yang kita gunakan setelah  jaringan listrik masuk tapi tetap tidak membayar PBB rumah.
Saya sangat beruntung  bapak mendapatkan fasilitas rumah, bayangkan kalau ga dapat. Mau tinggal dimana? Sementara penghasilan bapak untuk bayar uang sekolah anak-anaknya aja ga cukup, alhamdulilah dibantu ibu dengan keahliannya memasak. Jadi ga bermimpi bisa membeli rumah dari penghasilan bapak. Hebatnya bapak ga pernah bilang kalau rumah yang kita tempati adalah milik kita, ini milik Negara. Jadi pastinya akan diambil oleh negara kalau bapak & ibu sudah ga ada.  Setelah bapak pension, alhamdulilah salah satu anaknya diterima bekerja di tempat bapak walauu buukan sebagai anggota TNI. Akhirnya rumah kami bisa dibalik nama dengan nama anak bapak yang bekerja disitu, tapi tetap statusnya ya rumah dinas. Jadi jangalah rumah dinas direnovasi, perbaiki aja yang perlu. Gitu kata bapak. Menurut  bapak juga, rumah ini merupakan  penghargaan Negara kepada  bapak yang telah  mengabdi sejak jaman perang, jadi rawat dengan baik & kita ga tau kapan akan diminta kembali.
Itu yang terekam dibenak saya sampai saat ini, makanya bapak & ibu selalu bilang: setelah menikah kalian harus pindah. Terserah mau ngontrak atau sudah beli rumah, supaya kalian bisa mandiri dan tentunya punya rumah sendiri. Jadi ga seperti bapak yang tidak punya rumah seumur hidup…hehehe..
Sekarang marak komplek ABRI rumahnya dikosongkan secara paksa, karena orangtuanya (bapak/ibunya) telah tiada dan rumah dinas tersebut ditempati anak-anaknya.  Bahkan cara pengosongan pun kadang terlihat ga manusia. Namun menurut pendapat saya, ga mungkin kalau para keluarga tersebut itdak mendapat surat pengosongan sebelumnya. Kadang mereka merasa itu hak mereka atas pengabdian orangtuanya. Sedihnya lagi para petugas yang datang dengan peralatan lengkap, seperti hendak menghadapi para demontran atau hendak perang…hehehhehe….namun menurut saya, mungkin hal tersebut dilakukan hanya untuk berjaga-jaga seandainya terjadai hal hal yang tidak diinginkan seperti ditempat lainnya.
Kalau dari kacamata saya sebenarnya kedua pihak  sama sama salah. Pihak anggota yang mendapatkan fasilitas mungkin tidak terinfo kalau rumah dinas tersebut, harus dikembalikan atau akan diambil setelah anggota TNI yang menggunakan sudah tidak ada beserta istrinya. Sementara dari pihak pengelola rumah dians ABRI juga tidak benar dalam mengadministrasikan semua fasilitas perumahan anggotanya, serta tidak pernah di cek. Mana yang sudah harus diambilkembali dan mana yang masih dapat digunakan. Hal ini yang memicu konflik antara petugas & anak-anak anggota yang tetap menempati rumah dinas tesebut. Semoga Markas Besar ABRI sudah berbenah diri dalam pengurusan asset ABRI untuk anggotanya.
Masih menurut saya nih….secara logika namanya juga rumah dinas, yaaa…kalau orangtua sudah pada ga ada kan ga bisa jadi  hak anak-anaknya kan. Harusnya Markas ABRI yang menangani masalah perumahan, punya daftar tuh, siapa aja anggotanya yang sudah meninggal, begitu juga dengan istrinya. Jadi bisa langsung menginfo keluarganya untuk mengembalikan rumah tersebut. Dengan cara ini, diharapkan drama pengosongan yang seperti penggusuran ga terjadi. Namanyan rumah dinas yang memang ga bisa diwariskan! “Jadi harus diingat bahwa rumah dinas bukan warisan dari orangtua.” Jadi janganlah sampai bilang, “ini toh balasan Negara kepada orangtua saya?”  Menurut saya lagi nih, sudah cukup Negara memberikan fasilitas tempat tinggal dari saya, kakak2 saya dari lahir sampai menikah. Bahkan sampai kita punya anak, bayangkan sudah berapa tahun orangtua kita menikmati fasilitas rumah tersebut. Betul ga?......Maaf ya para penghuni komplek yang mengalami hal ga mengenakkan tersebut, tapi sekali lagi mari kita renungkan dengan tenang. Insya Allah tidak terjadi lagi, apalagi di komplek tempat terakhir orangtua saya tinggal.
Saya juga menyayangkan ada keluarga yang menggunakan rumah dinas dijadikan tempat kos-kosan atau dikontrakkan. Ada juga anggota TNI yang  bisa memiliki rumah dinas lebih dari satu dengan menggunakan nama orang lain. Kalau seperti ini kan pihak Markas besar yang salah toh?. Hehehehe…

Pasti ada yang komentar, terang aja kamu ga ngalami diusir dari rumah!!!........

Iya emang ga ngerasain karena orangtua saya dulu udah memberitahu, bahwa ini rumah dinas…rumah dinas. “Jadi sana kamu pada beli rumah sendiri kalau udah mampu”….gitu disuruh bapak dulu.
Kalau dikantor saya dulu, ada beberapa perumahan pegawai tapi semua rumah tersebut dibayar oleh pegawai atau dibeli dengan cara cicil melalui KPR atau tunai sesuai harga yang berlaku. Tentunya  ada   kemudahan dari perusahaan. Jadi yuuuk…saudara-saudaraku yang tinggal di komplek ABRI seperti saya dulu, mulailah mengubah mindset, bahwa  “Rumah Dinas  Bukan Warisan Orangtua” kecuali telah ada transaksi jual beli secara sah.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar