Semoga hal ini tidak terjadi lagi, ingatlah bahwa rumah dinas bukan warisan
Saya besar di lingkungan komplek ABRI, anak kolong
kata gaulnya. Pokoknya dari dibrojolin sampai dewasa ya tinggal di rumah dinas
& keluar setelah menikah. Maklum bapak seorang anggota TNI yang mendapat
fasilitas rumah tinggal untuk kami sekeluarga. Awalnya kami tinggal di komplek
ABRI di daerah Jakarta Pusat yang lokasi
tidak jauh dari kantor bapak. Rumah peninggalan belanda dengan 2 kamar tidur
yang sangat besar, karena kami keluarga besar setiap kamar diskat menjadi 2, jadilah kami memiliki
4 kamar yang diisi dengan tempat tidur tingkat agar semua anak mendapat tempat.
Dibagian depan rumah bapak menambah 1 kamar lagi untuk anak yang sudah besar.
Selain rumah fasilitas lain yang di dapat bagi anak-anak komplek yaitu
pemutaran film sebulan sekali, itu kira2 tahun tujuh puluhan. Memang hiburan
belum ada. Selama tinggal dikomplek setahu saya bebas dari membayar listrik
& PBB, bahkan sarana olahraga tersedia bagi anak anak. Ada lapangan bola, volley
& badminton.
Dulu anak anak komplek sering terlibat perkelahian
antar komplek ABRI, makanya terkanla kalau anak-anak kolong itu nakal-nakal
katanya hehehhehe……..sebenarnya bukan nakal tapi mau menunjukan jati diri siapa
yang paling kuat diantara komplek ABRI yang ada. Gitu kali ya…..
Ketika saya duduk di akhir SMA,
kami dipindahkan ke komplek ABRI yang dulu itu kita sebutnya tempat jin buang
anak, karena sangat jauuuuh. Belum ada listrik, angkutan umum juga susah. Jadi
kami berangkat sekolah ikut numpang di mobil jemputan orangtua kami, sampai
bisa menyambung dengan angkutan umum. Bayangkan dari pusat kota dipindah ke
pedalaman…hehehhe…bapak mendapat rumah di hoek dengan kelebihan tanah yang
lumayan, karena semua ukuran rumah sama hanya 2 kamar & yang membedakan
kami mendapat kelebihan tanah. Bapak segera menambah kamar untuk anak-anaknya
yang julahnya ruar biasa…..wkwkwkkwk…..Disini kami mulai membayar listrik yang
kita gunakan setelah jaringan listrik
masuk tapi tetap tidak membayar PBB rumah.
Saya sangat beruntung bapak mendapatkan fasilitas rumah, bayangkan
kalau ga dapat. Mau tinggal dimana? Sementara penghasilan bapak untuk bayar
uang sekolah anak-anaknya aja ga cukup, alhamdulilah dibantu ibu dengan
keahliannya memasak. Jadi ga bermimpi bisa membeli rumah dari penghasilan
bapak. Hebatnya bapak ga pernah bilang kalau rumah yang kita tempati adalah
milik kita, ini milik Negara. Jadi pastinya akan diambil oleh negara kalau
bapak & ibu sudah ga ada. Setelah
bapak pension, alhamdulilah salah satu anaknya diterima bekerja di tempat bapak
walauu buukan sebagai anggota TNI. Akhirnya rumah kami bisa dibalik nama dengan
nama anak bapak yang bekerja disitu, tapi tetap statusnya ya rumah dinas. Jadi
jangalah rumah dinas direnovasi, perbaiki aja yang perlu. Gitu kata bapak. Menurut
bapak juga, rumah ini merupakan penghargaan Negara kepada bapak yang telah mengabdi sejak jaman perang, jadi rawat dengan
baik & kita ga tau kapan akan diminta kembali.
Itu yang terekam dibenak saya sampai
saat ini, makanya bapak & ibu selalu bilang: setelah menikah kalian harus
pindah. Terserah mau ngontrak atau sudah beli rumah, supaya kalian bisa mandiri
dan tentunya punya rumah sendiri. Jadi ga seperti bapak yang tidak punya rumah
seumur hidup…hehehe..
Sekarang marak komplek ABRI rumahnya
dikosongkan secara paksa, karena orangtuanya (bapak/ibunya) telah tiada dan
rumah dinas tersebut ditempati anak-anaknya.
Bahkan cara pengosongan pun kadang terlihat ga manusia. Namun menurut
pendapat saya, ga mungkin kalau para keluarga tersebut itdak mendapat surat
pengosongan sebelumnya. Kadang mereka merasa itu hak mereka atas pengabdian
orangtuanya. Sedihnya lagi para petugas yang datang dengan peralatan lengkap,
seperti hendak menghadapi para demontran atau hendak perang…hehehhehe….namun
menurut saya, mungkin hal tersebut dilakukan hanya untuk berjaga-jaga
seandainya terjadai hal hal yang tidak diinginkan seperti ditempat lainnya.
Kalau dari kacamata saya
sebenarnya kedua pihak sama sama salah. Pihak
anggota yang mendapatkan fasilitas mungkin tidak terinfo kalau rumah dinas
tersebut, harus dikembalikan atau akan diambil setelah anggota TNI yang
menggunakan sudah tidak ada beserta istrinya. Sementara dari pihak pengelola
rumah dians ABRI juga tidak benar dalam mengadministrasikan semua fasilitas
perumahan anggotanya, serta tidak pernah di cek. Mana yang sudah harus
diambilkembali dan mana yang masih dapat digunakan. Hal ini yang memicu konflik
antara petugas & anak-anak anggota yang tetap menempati rumah dinas
tesebut. Semoga Markas Besar ABRI sudah berbenah diri dalam pengurusan asset
ABRI untuk anggotanya.
Masih menurut saya nih….secara
logika namanya juga rumah dinas, yaaa…kalau orangtua sudah pada ga ada kan ga
bisa jadi hak anak-anaknya kan. Harusnya
Markas ABRI yang menangani masalah perumahan, punya daftar tuh, siapa aja
anggotanya yang sudah meninggal, begitu juga dengan istrinya. Jadi bisa
langsung menginfo keluarganya untuk mengembalikan rumah tersebut. Dengan cara
ini, diharapkan drama pengosongan yang seperti penggusuran ga terjadi. Namanyan
rumah dinas yang memang ga bisa diwariskan! “Jadi harus diingat bahwa rumah
dinas bukan warisan dari orangtua.” Jadi janganlah sampai bilang, “ini toh balasan
Negara kepada orangtua saya?” Menurut
saya lagi nih, sudah cukup Negara memberikan fasilitas tempat tinggal dari
saya, kakak2 saya dari lahir sampai menikah. Bahkan sampai kita punya anak, bayangkan
sudah berapa tahun orangtua kita menikmati fasilitas rumah tersebut. Betul
ga?......Maaf ya para penghuni komplek yang mengalami hal ga mengenakkan
tersebut, tapi sekali lagi mari kita renungkan dengan tenang. Insya Allah tidak
terjadi lagi, apalagi di komplek tempat terakhir orangtua saya tinggal.
Saya juga menyayangkan ada keluarga
yang menggunakan rumah dinas dijadikan tempat kos-kosan atau dikontrakkan. Ada
juga anggota TNI yang bisa memiliki
rumah dinas lebih dari satu dengan menggunakan nama orang lain. Kalau seperti
ini kan pihak Markas besar yang salah toh?. Hehehehe…
Pasti ada yang komentar, terang
aja kamu ga ngalami diusir dari rumah!!!........
Iya emang ga ngerasain karena
orangtua saya dulu udah memberitahu, bahwa ini rumah dinas…rumah dinas. “Jadi sana
kamu pada beli rumah sendiri kalau udah mampu”….gitu disuruh bapak dulu.
Kalau dikantor saya dulu, ada
beberapa perumahan pegawai tapi semua rumah tersebut dibayar oleh pegawai atau
dibeli dengan cara cicil melalui KPR atau tunai sesuai harga yang berlaku.
Tentunya ada kemudahan dari perusahaan. Jadi yuuuk…saudara-saudaraku
yang tinggal di komplek ABRI seperti saya dulu, mulailah mengubah mindset,
bahwa “Rumah Dinas Bukan Warisan Orangtua” kecuali telah ada
transaksi jual beli secara sah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar