Selasa, 14 Januari 2014

MALARI

Empat puluh tahun yang lalu, tepatnya 15 Januari 1974 telah tejadi peristiwa  Malapetaka Lima belas Januari yang biasa disingkat MALARI.  Dimana  para mahasiswa  turun kejalan  menentang  kebijakan ekonomi  pemerintah  orde baru  yang dikuasai Jepang sebanyak 40% .  Di jalan-jalan  menjadi lautan kuning, yaitu mahasiswa Universitas Indonesia yang berjaket almamater berwarna kuning yang dikomandoi oleh Mariman Siregar, menutup sebagian jalan di depan istana Negara dan istana merdeka.
Para  pemuda  penerus bangsa tersebut  membakar  barang-barang produk Jepang, di saat kunjungan Perdana Meteri Jepang ke Indonesia di tanggal 15 Januari 1974.  Di jalan raya  mobil-mobil buatan Jepang diberhentikan, lalu di   bakar, si pemilik hanya bisa membisu menyaksikan  mobilnya dibakar massa.  Kobaran api  menjilat-jilat  badan mobil dan menghanguskannya.  Kobaran api  bak  memompa     semangat para pemuda  memperjuangkan  aspirasi  untuk yang terbaik bagi negeri ini.   
Aku yang saat itu masih duduk di bangku SMP,  dipulangkan lebih cepat dari sekolah karena kejadian tersebut.  Sepanjang  jalan menuju rumah yang ramai dipenuhi  para mahasiswa yang berdemonstrasi dan masyarakat yang menonton berbaur  menyaksikan  pembakaran mobil-mobil buatan jepang yang berlalu lalang di jalan raya. Penumpangnya di suruh turun  dan wuuuisss….api menyulut badan mobil tanpa dapat dicegah.
Aku akhirnya ikut  menyatu dengan  para mahasiswa dan mengikuti geraknya,  dari sekolahku di Jalan Dr. Soetomo  kearah kantor pos  Pasar Baru, Santa Ursula dan aku tidak  masuk ke komplek rumahku, tapi terus menuju jalan Ir.Juanda. Di depan istana  Negara  terlihat  mobil tentara beriringan keluar dan berusaha membubarkan  kerumunan para demontran.



Sementara di depan show room mobil astra yang terletak bersebrangan dengan istana negara, telah berkobar api besar yang membakar  sebuah mobil sedan, tetapi masih terlihat para mahasiswa  sedang memecahkan kaca show room dan berusaha mendorong  keluar mobil yang ada di dalam.  Tidak  terbesit rasa takut sedikitpun, aku malah senang, hatiku merasa   ikut berkobar  bak lidah api yang menjilati mobil buatan jepang yang dibakar. 
Aku masih dalam balutan seragam batik kebanggaan  sekolahku SMPN 5 dan tas sekolah masih  menggayut di bahu, telapak tanganku  menggenggam erat tangan sahabatku Andriyani yang  juga terlihat senang mengikuti apa yang terjadi.  Karena kejadian tersebut tidak jauh dari tempat tinggal kami, cukup dengan berjalan kaki saja. Terdengar  suara dari pengeras suara  yang  menyuruh  bubar para demontran yang diteriakan oleh  seorang tentara yang  berdiri di mobil jip tentara dari jalan veteran, tetapi tidak seorangpun dari kerumun itu bergerak untuk membubarkan diri.
Tiba-tiba sepasukan tentara  datang membubar paksa para demontran yang lari tunggang langgang menghidari para tentara, aku pun ikut lari menuju arah rumah. Kuantar pulang  temanku dan aku melanjutkan pulang.  Kulirik jam tangan yang melingkar di tanganku, jarum pendeknya telah menunjuk angka tiga. He..he..he.. sudah hampir dekat rumah, aku bertemu kakak yang langsung menggamit tanganku dan mulutnya melontarkan omelan panjang lebar.  Kakakku yang disuruh ibu mencariku, tidak berani pulang karena belum menemukanku, sudah terbayang deh hukuman  apa yang akan kakak dan aku terima dari ibu.
Maklum saja kami anak kolong, istilah untuk anak-anak tentara  yang  dalam konsidi seperti ini pasti ibu harus sendirrian mengawasi kami, anak-anaknya> Karena bapak dalam kondisi Negara seperti itu, dapat dipastikan tidak akan pulang karena tugas.  Sementara  kami aalah keluarga besar yang membuat ibu sulit mengawasi kami semua.  Malari  adalah kejadian pertama yang aku alami  tanpa aku sendiri tidak mengerti arti dari pergerakan tersebut, hanya  ikut arus menonton kejadian itu.

Kamis, 09 Januari 2014

MASJID ISTIQLAL CERMIN KERUKUNAN UMAT

Ada  ratusan serpihan  kenanganku yang tercecer  di Masjid  Istiqlal. Masjid  terbesar  dan termegah di Asia Tenggara,  yang  letaknya berhadapan  dengan gereja Kathedral. Disebelah  kanan gereja adalah  lokasi komplek tempat tinggal keluargaku dulu.  Gereja Kathedral  sejak aku  kecil sampai sekarang  tidak ada perubahan  pada  gereja tersebut.   

Pelataran  masjid istiqlal adalah salah satu saksi bisu masa kecilku, di mana aku bermain petak umpet, berlarian  untuk sholat dan juga tempat aku mengaji setiap sore hari. Pada waktu itu kondisinya masih dalam taraf pembangunan, bahkan adik-adikku  berkolah TK disana.  Di masjid ini  kalau pagi  ramai dengan anak-anak sekolah taman kanak-kanak Wijaya Kusuma namanya dan ada juga pengajian ibu-ibu. Sore hari diramaikan oleh anak-anak yang berlarian untuk merebutan mendapatkan kursi paling depan untuk mengaji, agar mendapatkan antrian mengaji lebih dulu. Ustadz Ridwan Lubis dengan sabar akan  mengajar kami satu persatu, hingga sholat magrib menjelang.

Kami  berebut   keluar kelas untuk masuk ke masjid  dan  mencari    tempat di baris belakang..hehehehe… di saf paling belakang, setelah meletakkan  tas  kami akan berebutan untuk mengambil air wudhu.  Pada saat  sholat kegaduhan dibelakang  terus saja berlangsung, suara hahaha…hihihi kami anak-anak  yang sholat sambil bercanda.   Tapi masjid akan  sunyi pada saat sholat, apabila penjaga masjid ada. Penjaga itu seorang bapak yang berkulit  hitam, dengan memakai kopiah dan maaf jalannya agak pincang dengan sebuah rotan tergengam ditangannya serta selalu  menggunakan kemeja warna putih atau biru. Pak Karim  namanya.  Apabila  kami  melihatnya datang,  bergerakpun takut rasanya, karena Pak Karim tidak segan-segan untuk  memukul anak-anak yang sholatnya bercanda dengan rotan yang dipegangnya.

Selepas sholat isya,  anak-anak remaja dan dewasa akan berkumpul di depan pemancar radio  yang ada di lingkungan masjid.  Sementara kami, anak-anak akan menyebrang jalan untuk menangkap jangkrik yang bertebaran dibawah lampu jalan  yang terletak  diberang masjid dan tepat di depan pintu gerbang komplek tempat tinggalku.
 
Setelah aku duduk di bangku SMP, kegiatan itu terus saja berlangsung dan apabila  tiba Hari Raya Idul Fitri,  para laki-laki dewasa akan menjadi juru parkir  para jamaah yang akan sholat. Lahan parkir  yang digunakan adalah halaman komplek  tempat tinggal kami dan halaman gereja cathedral,   pada saat  natal,   lahan parkir yang digunakan selain halaman komplek  juga halaman masjid istiqlal.  Indahnya perbedaan.

Serpihan-serpihan itu mencoba menyatu untuk membentuk kenangan lama yang melintas kembali dikala aku dan suami mampir untuk sholat dzuhur  di masjid istiqlal, yang kini makin megah dan  indah.   Aku seakan tidak mengenalnya sekarang, bahkan  dikala  selesai berwudhu, aku bingung dimana kini tempat sholatnya sampai harus bertanya kepada pengunjung lain.  Keluargaku pindah dari komplek tempat kami tinggal pada tahun 1977  ke selatan Jakarta dan baru tahun 2013  aku menginjakkan kaki kembali di Masjid Istiqlal.

Masjid Istiqlal dalam sejarah
Masjid Istiqlal  yang ide awalnya dicetuskan  oleh beberapa ulama, seperti : KH. Wahid Hasyim, Menteri Agama RI 1, H. Agus Salim, Anwar Tjokroaminoto, Ir Sofwan dan 200 orang tokoh Islam pimpinan KH. Taufiqurrahman, yang awalnya dengan mendirikan Yayasan Masjid Istiqlal pada tahun 1953.

Pada tanggal 7 Desember 1954   yayasan Masjid Istiqlal yang diketuai oleh H. Tjokroaminoto diresmikan yang didukung oleh Presiden Soekarno.  Nama Istiqlal diambil dari bahasa Arab yang berarti “Merdeka,”  nama tersebut merupakan  ungkapan   rasa syukur bangsa Indonesia atas kemerdekaan yang diberikan oleh Allah SAW. Kemudian   membentuk Panitia Pembangunan Masjid Istiqlal (PPMI).

Penentuan lokasi masjid ditetapkan oleh Bung Karno di atas bekas benteng Belanda Frederick Hendrik dengan Taman Wilhelmina yang dibangun oleh Gubernur Jenderal Van Den Bosch pada tahun 1834 yang terletak di antara Jalan Perwira, Jalan Lapangan Banteng, Jalan Kathedral dan Jalan Veteran.  Penentuan lokasi ini sempat menimbulkan perdebatan antara Bung Karno dan Bung Hatta yang akhirnya disepakati    di bangun di lahan bekas benteng Belanda, karena di seberangnya telah berdiri gereja Kathedral dengan tujuan untuk memperlihatkan kerukunan dan keharmonisan kehidupan beragama di Indonesia.

Langkah awal untuk perencanaan pembangunan adalah  menyiapkan rancangan gambar atau arsitekturnya, maka pada tahun 1955 Panitia Pembangunan Masjid Istiqlal menggelar   sayembara rancangan gambar atau arsitektur masjid Istiqlal yang jurinya diketuai oleh Presiden Soekarno.  Keluar sebagai pemenang pada sayembara tersebut adalah Frederich Silaban dengan judul “Ketuhanan.” Frederich Silaban adalah seorang arsitek beragama Kristen kelahiran Bonandolok Sumatera, 16 Desember 1912.  Beliau juga yang  merancang kompleks Gelanggang Olahraga Senayan.

Realisasi pembangunan masjid Istiqlal  yang  pemancangan tiang pertamanya dilakukan  oleh Presiden pertama RI, Ir. Soekarno dilaksanakan pada   24 Agustus 1961.   Situasi  politik dalam negeri yang cukup memanas, pembangunan masjid istiqlal jadi tersendat-sendat, apalagi pembangunan ini berbarengan dengan pembangunan   Gelora Senayan dan Monumen Nasional.   Pada tahun 1965-1966  pembangunan Masjid Istiqlal terhenti sama sekali. 

Setelah itu   Himpunan Seniman Budayawan Islam bersama  sejumlah tokoh, ulama dan pejabat negara tergugah untuk melanjutkan pembangunan Masjid Istiqlal, yang  dipelopori oleh Menteri Agama KH. M. Dahlan  melakukan  penggalangan dana   untuk membangun   fisik masjid dan kepengurusan Bung Karno digantikan oleh     KH. Idham Chalied yang bertindak sebagai koordinator panitia nasional Masjid Istiqlal.   Lewat kepengurusan yang baru ini, masjid dengan arsitektur bergaya modern itu selesai yang semula direncanakan   pembangunannya akan memakan waktu selama 45 tahun, akhirnya “bangunan utama” dapat selesai dalam waktu 6 tahun.

 Masjid Istiqlal mulai dipergunakan pada tanggal 31 Agustus 1967 yang ditandai dengan berkumandangnya adzan Maghrib yang pertama. Secara keseluruhan pembangunan masjid Istiqlal diselesaikan selama   17 tahun yang diresmikan    oleh presiden Soeharto pada tanggal 22 Februari 1978.