Rabu, 27 Desember 2017

ANAK PEREMPUAN NGGAK PERLU SEKOLAH TINGGI-TINGGI





Jika aku mengingat sosok yang telah melahirkanku, beragam rasa berbaur mengharu biru memenuhi kalbu. Belum lagi dosaku kepadanya, layaknya buih dilautan. Aku sering  merenung, apakah cukup permohonan maaf dan ampunku ke Ibu atas semua salahku? Aku percaya Ibu pasti mengampuniku, terlihat dari sorot matanya di detik-detik kepergiannya.  



Sepulang dari rumah sakit ibu minta aku yang menjemputnya, dengan mobilku dan harus  aku yang menyetir. Ternyata ibu minta dibawa jalan-jalan  naik turun jalan semanggi, melihat sarinah dan sebelumnya mampir di monas  menyakskan air mancur joget. Padahal ibu hanya bisa duduk bersandar di mobil dan menikmati semua itu dari jendela mobil. Keluar dari rumah sakit jam dua siang, baru sampai rumah jam Sembilan malam dan itu hanya aku berdua. Ibu menyuruh perawat menelpon aku di kantor dan memintanya datang.  Aku senang mendengar ceritanya saat meminta memutari jalan semanggi, ibu masih ingat saat membawa anak-anaknya dengan motor harly yang ada boncengannya di samping & membawa aku dan adik-adik  JJS ke semanggi. 

Diantara selusin anaknya, hanya aku yang paling berani menentangnya. Kami terdiri dari tujuh anak perempuan dan lima anak laki-laki, hampir semua takut dengan ibu.  Aku  menentang prinsip yang dianut ibu, yaitu “Anak perempuan ngga perlu sekolah tinggi-tinggi, yang penting bisa baca tulis. Percuma sekolah tinggi-tinggi, nanti larinya ke dapur juga. Ngurus suami, anak dan rumah tangga.”

Aku ngerti, jaman itu masyarakat  berpikir seperti itu. Anak perempuan tidak diberi kesempatan untuk mengenyam pendidikan setinggi-tingginya, karena  pencari nafkah adalah anak laki-laki. seringnya perkataan itu diucapkan, terutama kepada kakak-kakakku yang perempuan.  Akhirnya terpatri dibenakku dan menimbulkan pertanyaan. Kenapa anak perempuan ngga boleh sekolah tinggi? Dan pertanyaan itu akhirnya terlontar dari mulutku yang membuat ibu marah. Saat  itu aku  masih  kelas 5 SD, karena  aku   senang membaca membuat  pikiranku berkembang dan  terbitlah  keinginanku untuk bisa kuliah.

Aku nggak memungkiri kalau ibuku adalah orang yang hebat dan sangat luar biasa, bahkan cara mendidik anak-anaknya yang awal-awalnya menurut  kami  kejam, ternyata kami salah menilainya. So…kenapa sih kami, anak-anaknya sampai tega mengatakan ibu kejam dalam mendidik?  Bayangkan saja mulai kelas 4 SD, setiap anak sudah mulai mendapat tugas menyapu dan mengepel seluruh rumah. Aturan itu berlaku untuk semua anak, tidak pandang anak laki-laki atau perempuan, padahal kami punya dua asisten rumah tangga. Setiap tahun pekerjaan  tersebut akan meningkat, ditambah dengan mencuci piring.

Saat kelas enam SD kita sudah harus bisa memasak nasi yang   menggunakan dandang dengan kukusan, maklum belum ada rice cooker atau magic jar seperti jaman now. Kesal?...pasti, belum lagi harus pula momong (mengasuh) adik. Pokoknya kegiatan tiap anak seperti sudah terjadwal sejak bangun tidur, sampai akan tidur kembali.

Ketika SMP mencuci baju sekolah menjadi kewajiban masing-masing anak, terus seperti itu sampai setiap anak bisa mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan mengurus anak.  Tiga  kakak perempuanku semua manut dengan keyakinan ibu dan mereka hanya sekolah sampai SMP dan sekolah madrasah untuk memperlancar mengaji sambil menanti jodoh datang.

Aku berusaha mencari jalan agar dapat terus bersekolah, Alhamdulillah otakku encer dan selalu masuk tiga besar. Hal itu aku manfaatkan untuk bisa bernegosiasi dengan ibu dan salah satu yang memuluskan jalanku adalah kesibukan ibu, sehingga aku bisa melenggang ke SMA. Ceritanya ketiga lulus SMP, nilaiku memuaskan dan dapat masuk di SMA negeri tanpa repot. Aku hanya bilang minta uang untuk beli seragam   dan buku baru, terdaftarlah aku di SMA negeri. Nanti kalau ibu akhirnya mengetahui, aku sudah membicarakan ini dengan bapak yang siap membantuku.  Ternyata  ngga mudah menghadapi ibu dengan prinsipnya, tapi aku ngga mau menjadi korban seperti tiga orang kakak perempauanku yang menikah diumur 17 tahun.  Dengan bantuan bapak, akhirnya  berhasil…….hehehehe.

Alhamdulillah aku di SMA mendapat beasiswa setiap bulan, uang itu aku pergunakan untuk membayar  uang sekolah dan keperluan lain. Biar ngga ke marah kalau aku minta uang. Namun perjalananku untuk bisa kuliah, ternyata harus terganjal dan gagal. Aku mendapatkan  tiket khusus masuk di sebuah perguruan tinggi negeri, karena prestasi yang aku ukir.  Tapi kehendak Allah berkata lain, ibu tidak mengijinkan, apalagi diluar kota. Aku merengek untuk bisa lanjut kuliah, tapi ibu akhirnya mengatakan :
“Kalau kamu kuliah, adik-adikmu ngga bisa lanjut sekolahnya”

“Duh Gusti,” aku ngga bisa ngomong apa-apa dan hanya air mata yang menganak sungai menandakan kekecewaanku. Aku harus kuat dan bisa move on, ternyata Allah telah menyediakan rencana lain untukku. Aku diterima bekerja di perusahaan besar dengan gaji yang lumayan. Aku bertekad dalam hati, suatu saat aku akan bisa kuliah dan aku harus bisa menyelematkan adik-adikku terutama yang perempuan untuk bisa terus bersekolah. Ibu juga mulai mendukung adik-adikku untuk terus bersekolah.

Akhirnya aku dapat mewujudkan cita-citaku untuk kuliah dengan biaya sendiri. Betapa mata ibu berkaca-kaca saat menghadiri wisuda kelulusannku. Ibu memelukku dan membisikan kata-kata “Ibu bangga padamu yang begitu gigih minta sekolah dan kuliah. Begini rasanya bahagia menyaksikan anak ibu di wisuda, sekolahkanlah  cucu-cucu ibu nanti setinggi bintang dilangit.” Ucapnya sambil menciumku.

Pelajaran dan didikan Ibu kepada anak-anaknya yang dulu kita bilang kejam.  Ternyata saat kita menikah semua pelajaran itu sangat berguna, aku bisa mengurus rumah tangga, memasak, mengurus anak dan urusan rumah tangga lainnya. Terima kasih Ibu, untuk  semua  pelajaran yang telah kau berikan. Memang semua  itu  harus dipaksa agar kita dapat mahir  mengerjakannya. Dan aku telah melaksanakan kan pesanmu, cucu-cucumu kubiarkan mereguk pendidikan setinggi yang mereka inginkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar