Senin, 09 Juli 2018

MENANTU & MERTUA



Seorang teman  yang sudah lama tidak bertemu, tapi  berkat  HP canggih saat ini kita masih bisa  menjalin komunikasi via WA. Tetiba kemarin pagi dia nongol di rumah & akhirnya kita ngobrol panjang lebar sambil melepas kangen. 

Dari  obrolan tak isi  berakhir dengan curhatan yang menurut aku perlu diceritakan di sini, bukan mau buka aib tenan sendiri. Tapi ada pelajari dari curhatan ini yang sangat penting & perlu dishare, untuk menjadi pelajaran bagi kita ke depannya.
  
Awalnya dia bercerita kalau suaminya sering kali lupa, tapi  lupanya ini sudah keterlaluan. Dia tidak tau jalan pulang saat diminta menjemput istri di Bandara Soekarno-Hatta sepulang dari dinas kantor.  Mobil di pacu kearah cikampek, karena istrinya tertidur. Saat bangun dia terkejut membaca papan petunjuk di dalam jalan tol, ke arah Cikampek. Buku tabungan, dompet dan hp seringkali hilang, tapi alhamdulillah masih ditemukan dikolong kursi mobil. Minggu lalu buku tabungan tidak ditemukan dan harus mengurus  kepolisi, karena tidak dapat mengambil uang pensiun. 

Suaminya tetap bertahan bahwa itu bukan penyakit, tapi  memang keadaan alami. Jadi susah untuk dibawa periksa ke dokter, karena diperkiraan itu penyakit dimensia yang dikhawatirkan akan mengarah ke alzeimer. “Aku dan anakku sudah membujuknya untuk periksa ke dokter, tapi  dia ga pernah mau. Waktu mudik kemarin dia hilang, setelah 5 jam baru ditemukan. Aku sampai sewa ojeg  dia hilang, setelah 5 jam baru ditemukan. Aku sampai sewa ojeg berkeliling mencarinya, yang katanya ada di sebuah sekolah tapi tidak ditemukan. Dia pamit mencari minum tapi ternyata pergi terlalu jauh dengan mengunakan angkoberkeliling mencarinya, yang katanya ada di sebuah sekolah tapi tidak ditemukan. Dia pamit mencari minum tapi ternyata pergi terlalu jauh dengan mengunakan angkot.” Temanku ini bercerita dengan mata berkaca-kaca.

Ternyata ceritanya makin serius. Teman ini sejak anaknya menikah dia tinggal bersama anak tersebut, maklum anak satu-satunya. Temanku membeli rumah    dekat dengan rumah orangtua  menantunya, sementara  rumahnya ditinggal begitu saja.  Pada awalnya memang baik-baik saja, tapi lama kelamaan mulai timbul masalah. Si anak mendapat kesempatan di tempatkan di kantor perwakilan yang ada  diluar negeri, tapi sang istri tidak mengijinkan. Padahal  penempatan ini disilakan membawa keluarga dan terjadi penolakan kembali saat akan dipindahkan ke kantor perwakilan di negara yang lain lagi. Sang ibu  kecewa dengan kejadian ini, apalagi dengan alasan yang sangat sepele. “Takut di sana  tidak punya teman”  
 
“Itu keputusan anakku dan aku terima dengan ikhlas. Dengan berjalannya waktu satu-satu masalah mulai bermunculan, karena temanku masih bekerja dia tidak terlalu focus dengan apa yang terjadi.  Kini saat telah full di rumah, ternyata beberapa kali sang menantu menyindir untuk meninggalkan rumah tersebut.  “Aku memang inginnya kembali ke rumah sendiri setelah pensiun, tapi suami tidak mau karena berat dengan cucu yang terlanjur lengket dengan Eyang kakung.”

Kini saat cucu sudah besar dan setiap ada percikan dengan ibunya, selalu berlindung  kepada eyang kakung, membuat anak tersebut besar kepala & tidak lagi mau mendengar omongan ibunya. Ada satu kejadian, yaitu saat  si anak diminta ibunya untuk tidak bermain sepedah di luar tapi tidak digubris. Malah diajak bermain keluar oleh Eyang kakungnya, membuat sang menantu naik pitam dan mengucapkan kata-kata “Saya sudah tidak tahan tinggal di sini, lebih baik saya pindah dari rumah ini!” Aku mencoba bicara dengan suami dan menasehati sang cucu, tapi akhirnya terjadi keributan saat anakku pulang kantor. Menantuku langsung bilang  minta pindah begitu melihat suaminya pulang. Mendengar seperti itu Eyang Kung spontan memindahkan baju & barang2nya ke mobil, lalu mengajak aku malam itu juga untuk kembali ke rumahnya. “Aku sakit hati,” ucapnya. Namun semua dapat aku damaikan. Si cucu meminta maaf kepada ibu & aku bias membatalkan niat Eyang Kung pergi. Temanku menceritakan semua ini dengan bercucuran air mata.

Pada suatu kesempatan, bertemu akubesan yang tinggal tidak jauh dari rumah anakku. Dalam ngobrol-ngobrol aku coba membahas kejadian kemarin & menyampaikan akan kembali ke rumah sendiri. Entah bagaimana penyampaian besan kepada anaknya, menimbulkan kejadian lagi.

Tetiba menantuku menemuiku dan berkata, “Apa maksud mama cerita ke mama aku seperti itu?”  Aku masih belum paham dengan  pertanyaan menantuku.  Nyerocoslah penjelasan dari menantuku apa yang dimaksud dengan pertanyaanya. Padahal aku hanya bercerita kejadian yang lalu, tapi entah apa yang membuat menantuku marah dan bertanya dengan nada cukup ketus. 

“Mama tau, si abang jadi ga bisa dikasih tau sama aku, karena selalu dibelin sama EyangKungnya setiap   berbuat salah. Dia jadi berani melawan aku juga. Aku jadi ga bebas dalam mendidik anak-anakku sendiri.”  Aku hanya  dapat terdiam mendengar protesnya & spontan aku minta maaf kalau memang aku dianggap bersalah, tapi sebaiknya  kamu tanya dengan nada biasa. Jangan sampai kamu durhaka sama   orangtua. Aku tidak mau terjadi keributan lagi, kasian anakku. 

Aku hanya mendengarkan semua curhatannya, karena hanya itu yang temanku butuhkan. Dia hanya meminta doa agar suaminya mau diajak pindah kembali ke rumah sendiri dan membantunya membujuk suaminya agar mau diajak kembali ke rumah sendiri. Semoga suami temanku benar-benar bersedia pindah kembali ke rumahnya, agar hubungan harmonis kembali terjalin.

Dari sekelumit curhatan ini ada beberapa pelajaran yang bisa kita petik.
1.    Anak yang telah menikah, andai sudah punya rumah ataupun belum sebaiknya dianjurkan untuk hidup mandiri. Biarkan anak-anak mengatur kehidupan rumah tangganya sendiri, walaupun itu anak tunggal.

2.    DIDIK  anak-anak   kita untuk tetap menghormati bapak atau ibu mertuanya dan jangan lupa beritahu anak perempuan kita, bahwa anak laki-laki adalah anak ibunya & dia bertanggungjawab kepada orangtuanya.

3.    Jangan ikut campur  dalam  urusan mendidik cucu, serahkan sepenuhnya kepada orangtuanya, walau kita tinggal serumah dengan mereka.

4.     Sebagai seorang anak tetap memiliki kewajiban mengurus orangtua maupun mertua,  rangkul lah mereka dengan baik dan penuh kasih sayang.

5.    Tidak ada masalah yang tidak dapat diselesaikan, akan lebih baik menyelesaikannya dengan hati & kepala dingin.

Aku sebagai ibu telah memberikan bekal kepada anak laki-lakiku, bahwa dia yang akan bertanggungjawab kepada orangtua dan adiknya setelah kami tua. Menjelaskan apa kewajibannya sebagai anak dan menantu. 

Alhamdulillah aku bisa dekat dan kompromi dengan besan dalam mendidik anak-anak, kita kompak. Sebenarnya malah lebih  sering  besan yang meminta tolong aku untuk memberitahu anaknya, yang nota bene adalah menantu aku. Seringkali pula aku bilang ke besanku, agar hal-hal kecil tentang rumah tangga anak-anak jangan terlalu ikut campur. Kita pantau aja dari jauh dan aku yakin mereka sudah pada dewasa dan besanku setuju…hehehe…

Semoga curhatan ini bisa bermanfaat dan  diambil hikmahnya.

13 komentar:

  1. Terimakasih sudah berbagi cerita mba. Reminder buat diri ini🙏

    BalasHapus
  2. Bener banget mba. Banyak sekali kasus antara menantu dan mertua. Mertua yang kebanyakan kurang pengertian dan menantu perempua yang kebanyakan lupa bahwa anak lelaki adalah hak ibunya selamanya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul Mba, saya hanya berharap kita tidak lupa mendidik & mengajari anak2 kita pd posisinya saat telah menikah.

      Hapus
  3. Mertua yang ideal Mbak Srie ini..
    Terima kasih sudah mengingatkan untuk jadi menantu yang lebih baik lagi..
    Saya enggak pernah tinggal berdekatan dengan mertua jadi ketemu sekali -kali saja. Jadi kadang terkaget-kaget juga.. hihihi..
    Tapi lambat laun Alhamdulillah kami bisa saling memahami satu sama lain

    BalasHapus
    Balasan
    1. Woow...masa sih Mba?..jd GR.dwh. saya hanya berkaca pd pengalaman orang & hasil.pengamatan kpd keluarga besar atau orang lain. untuk itu saya setiap ada kejadian, langsung saja ceritakan ke anak2, agar mereka paham mana yg harus dilakukan.
      Terkaget-kaget saat bertemu mertua?..hahaha
      Aamiin yra..in shaa Allah Mba

      Hapus
  4. Punya menantu perempuan dan laki. Alhamdulillah baik² saja. Enggak memaksakan anak laki sih untuk mengurus saya. Hehe...Dia lebih memilih tinggal terpisah...ya gpp juga. Pdhal bapaknya kangen.
    Semoga kita rukun selalu ya Bu...antara anak menantu cucu besan...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Syukurlah...ikut senang mendengarnya. Aamiin yra.
      Ibu saya dulu, klo anaknya menikah dia.mewajibkan anak tersebut untuk pindah rumah. Andai blm ada rumah & belum mampu beli atau sewa, ibu akan mengotrakan rumah. Hal ini agar anak2 dpt hidup mandiri & menjala kan hidup sbg istri atau suami. Berbekal itulah, saya juga menerapkan kpd anak2, alhamdulillah saya dpt membeli anal2 rumah sederhana. Maau ditempati ailakan mau dijual silakan yg penting, tinggal terpisah setelah berumah tangga.
      Makasih udah mampir Mba

      Hapus
  5. Semoga hubungan mertua-menantu kita semua baik2 aja yaaa. Alhamdulillah, 5 thn tinggal serumah dg mertua kami akur2 aja mbak. Memang semuanya kembali ke pribadi masing-masing ya. Mertua tidak terlalu ikut campur, dan si anak juga ga terlalu suka curhat. Yg namanya ortu dicurhatin anak ya jadi kepikiran, kan?

    BalasHapus
  6. Aku seneng baca tips mbak Srie di akhir. Andai para Ayah dan Ibu jaman Old mengerti bahwa urusan anak kami adalah kami yg mempertanggung jawabkan. Meski kakek nenek sayang cucu tapi gk boleh serta merta mencampuri urusan keluarga anak. Adem bacanya :)

    BalasHapus
  7. Terima kasih denga sharingnya bu. Jadi pembelajaran untuk yang lebih muda.

    BalasHapus
  8. Emang klo udah berumah tangga harus mandiri ya mbaa

    BalasHapus
  9. Hmm, jadi mencermati deh. Memang betul, ada baiknya hidup terpisah. Belajar mandiri dan juga namanya membentuk keluarga supaya lepas dari campur tangan orang

    BalasHapus