Seorang teman yang sudah lama tidak bertemu, tapi berkat
HP canggih saat ini kita masih bisa menjalin komunikasi via WA. Tetiba kemarin
pagi dia nongol di rumah & akhirnya kita ngobrol panjang lebar sambil melepas
kangen.
Dari obrolan tak isi berakhir dengan curhatan yang menurut aku
perlu diceritakan di sini, bukan mau buka aib tenan sendiri. Tapi ada pelajari
dari curhatan ini yang sangat penting & perlu dishare, untuk menjadi
pelajaran bagi kita ke depannya.
Awalnya dia bercerita kalau
suaminya sering kali lupa, tapi lupanya
ini sudah keterlaluan. Dia tidak tau jalan pulang saat diminta menjemput istri
di Bandara Soekarno-Hatta sepulang dari dinas kantor. Mobil di pacu kearah cikampek, karena
istrinya tertidur. Saat bangun dia terkejut membaca papan petunjuk di dalam
jalan tol, ke arah Cikampek. Buku tabungan, dompet dan hp seringkali hilang,
tapi alhamdulillah masih ditemukan dikolong kursi mobil. Minggu lalu buku tabungan
tidak ditemukan dan harus mengurus
kepolisi, karena tidak dapat mengambil uang pensiun.
Suaminya tetap bertahan bahwa itu
bukan penyakit, tapi memang keadaan
alami. Jadi susah untuk dibawa periksa ke dokter, karena diperkiraan itu
penyakit dimensia yang dikhawatirkan akan mengarah ke alzeimer. “Aku dan anakku
sudah membujuknya untuk periksa ke dokter, tapi
dia ga pernah mau. Waktu mudik kemarin dia hilang, setelah 5 jam baru
ditemukan. Aku sampai sewa ojeg dia
hilang, setelah 5 jam baru ditemukan. Aku sampai sewa ojeg berkeliling
mencarinya, yang katanya ada di sebuah sekolah tapi tidak ditemukan. Dia pamit
mencari minum tapi ternyata pergi terlalu jauh dengan mengunakan angkoberkeliling
mencarinya, yang katanya ada di sebuah sekolah tapi tidak ditemukan. Dia pamit
mencari minum tapi ternyata pergi terlalu jauh dengan mengunakan angkot.” Temanku
ini bercerita dengan mata berkaca-kaca.
Ternyata ceritanya makin serius.
Teman ini sejak anaknya menikah dia tinggal bersama anak tersebut, maklum anak
satu-satunya. Temanku membeli rumah dekat
dengan rumah orangtua menantunya,
sementara rumahnya ditinggal begitu
saja. Pada awalnya memang baik-baik
saja, tapi lama kelamaan mulai timbul masalah. Si anak mendapat kesempatan di
tempatkan di kantor perwakilan yang ada diluar
negeri, tapi sang istri tidak mengijinkan. Padahal penempatan ini disilakan membawa keluarga dan
terjadi penolakan kembali saat akan dipindahkan ke kantor perwakilan di negara
yang lain lagi. Sang ibu kecewa dengan
kejadian ini, apalagi dengan alasan yang sangat sepele. “Takut di sana tidak punya teman”
“Itu keputusan anakku dan aku
terima dengan ikhlas. Dengan berjalannya waktu satu-satu masalah mulai bermunculan,
karena temanku masih bekerja dia tidak terlalu focus dengan apa yang
terjadi. Kini saat telah full di rumah,
ternyata beberapa kali sang menantu menyindir untuk meninggalkan rumah
tersebut. “Aku memang inginnya kembali
ke rumah sendiri setelah pensiun, tapi suami tidak mau karena berat dengan cucu
yang terlanjur lengket dengan Eyang kakung.”
Kini saat cucu sudah besar dan
setiap ada percikan dengan ibunya, selalu berlindung kepada eyang kakung, membuat anak tersebut
besar kepala & tidak lagi mau mendengar omongan ibunya. Ada satu kejadian,
yaitu saat si anak diminta ibunya untuk
tidak bermain sepedah di luar tapi tidak digubris. Malah diajak bermain keluar
oleh Eyang kakungnya, membuat sang menantu naik pitam dan mengucapkan kata-kata
“Saya sudah tidak tahan tinggal di sini, lebih baik saya pindah dari rumah ini!”
Aku mencoba bicara dengan suami dan menasehati sang cucu, tapi akhirnya terjadi
keributan saat anakku pulang kantor. Menantuku langsung bilang minta pindah begitu melihat suaminya pulang.
Mendengar seperti itu Eyang Kung spontan memindahkan baju & barang2nya ke
mobil, lalu mengajak aku malam itu juga untuk kembali ke rumahnya. “Aku sakit
hati,” ucapnya. Namun semua dapat aku damaikan. Si cucu meminta maaf kepada ibu
& aku bias membatalkan niat Eyang Kung pergi. Temanku menceritakan semua
ini dengan bercucuran air mata.
Pada suatu kesempatan, bertemu akubesan
yang tinggal tidak jauh dari rumah anakku. Dalam ngobrol-ngobrol aku coba
membahas kejadian kemarin & menyampaikan akan kembali ke rumah sendiri.
Entah bagaimana penyampaian besan kepada anaknya, menimbulkan kejadian lagi.
Tetiba menantuku menemuiku dan
berkata, “Apa maksud mama cerita ke mama aku seperti itu?” Aku masih belum paham dengan pertanyaan menantuku. Nyerocoslah penjelasan dari menantuku apa
yang dimaksud dengan pertanyaanya. Padahal aku hanya bercerita kejadian yang
lalu, tapi entah apa yang membuat menantuku marah dan bertanya dengan nada
cukup ketus.
“Mama tau, si abang jadi ga bisa
dikasih tau sama aku, karena selalu dibelin sama EyangKungnya setiap berbuat
salah. Dia jadi berani melawan aku juga. Aku jadi ga bebas dalam mendidik
anak-anakku sendiri.” Aku hanya dapat terdiam mendengar protesnya &
spontan aku minta maaf kalau memang aku dianggap bersalah, tapi sebaiknya kamu tanya dengan nada biasa. Jangan sampai kamu
durhaka sama orangtua. Aku tidak mau
terjadi keributan lagi, kasian anakku.
Aku hanya mendengarkan semua
curhatannya, karena hanya itu yang temanku butuhkan. Dia hanya meminta doa agar
suaminya mau diajak pindah kembali ke rumah sendiri dan membantunya membujuk
suaminya agar mau diajak kembali ke rumah sendiri. Semoga suami temanku
benar-benar bersedia pindah kembali ke rumahnya, agar hubungan harmonis kembali
terjalin.
Dari sekelumit curhatan ini ada
beberapa pelajaran yang bisa kita petik.
1. Anak yang telah menikah, andai sudah punya rumah
ataupun belum sebaiknya dianjurkan untuk hidup mandiri. Biarkan anak-anak
mengatur kehidupan rumah tangganya sendiri, walaupun itu anak tunggal.
2. DIDIK
anak-anak kita untuk tetap
menghormati bapak atau ibu mertuanya dan jangan lupa beritahu anak perempuan
kita, bahwa anak laki-laki adalah anak ibunya & dia bertanggungjawab kepada
orangtuanya.
3.
Jangan ikut campur dalam
urusan mendidik cucu, serahkan sepenuhnya kepada orangtuanya, walau kita
tinggal serumah dengan mereka.
4. Sebagai seorang anak tetap memiliki kewajiban
mengurus orangtua maupun mertua, rangkul
lah mereka dengan baik dan penuh kasih sayang.
5. Tidak ada masalah yang tidak dapat diselesaikan,
akan lebih baik menyelesaikannya dengan hati & kepala dingin.
Aku sebagai ibu telah memberikan
bekal kepada anak laki-lakiku, bahwa dia yang akan bertanggungjawab kepada
orangtua dan adiknya setelah kami tua. Menjelaskan apa kewajibannya sebagai
anak dan menantu.
Alhamdulillah aku bisa dekat dan
kompromi dengan besan dalam mendidik anak-anak, kita kompak. Sebenarnya malah
lebih sering besan yang meminta tolong aku untuk
memberitahu anaknya, yang nota bene adalah menantu aku. Seringkali pula aku
bilang ke besanku, agar hal-hal kecil tentang rumah tangga anak-anak jangan
terlalu ikut campur. Kita pantau aja dari jauh dan aku yakin mereka sudah pada dewasa
dan besanku setuju…hehehe…
Semoga curhatan ini bisa bermanfaat
dan diambil hikmahnya.
Terimakasih sudah berbagi cerita mba. Reminder buat diri ini🙏
BalasHapusTerima kasih juga sudah mampir Mba
HapusBener banget mba. Banyak sekali kasus antara menantu dan mertua. Mertua yang kebanyakan kurang pengertian dan menantu perempua yang kebanyakan lupa bahwa anak lelaki adalah hak ibunya selamanya.
BalasHapusBetul Mba, saya hanya berharap kita tidak lupa mendidik & mengajari anak2 kita pd posisinya saat telah menikah.
HapusMertua yang ideal Mbak Srie ini..
BalasHapusTerima kasih sudah mengingatkan untuk jadi menantu yang lebih baik lagi..
Saya enggak pernah tinggal berdekatan dengan mertua jadi ketemu sekali -kali saja. Jadi kadang terkaget-kaget juga.. hihihi..
Tapi lambat laun Alhamdulillah kami bisa saling memahami satu sama lain
Woow...masa sih Mba?..jd GR.dwh. saya hanya berkaca pd pengalaman orang & hasil.pengamatan kpd keluarga besar atau orang lain. untuk itu saya setiap ada kejadian, langsung saja ceritakan ke anak2, agar mereka paham mana yg harus dilakukan.
HapusTerkaget-kaget saat bertemu mertua?..hahaha
Aamiin yra..in shaa Allah Mba
Punya menantu perempuan dan laki. Alhamdulillah baik² saja. Enggak memaksakan anak laki sih untuk mengurus saya. Hehe...Dia lebih memilih tinggal terpisah...ya gpp juga. Pdhal bapaknya kangen.
BalasHapusSemoga kita rukun selalu ya Bu...antara anak menantu cucu besan...
Syukurlah...ikut senang mendengarnya. Aamiin yra.
HapusIbu saya dulu, klo anaknya menikah dia.mewajibkan anak tersebut untuk pindah rumah. Andai blm ada rumah & belum mampu beli atau sewa, ibu akan mengotrakan rumah. Hal ini agar anak2 dpt hidup mandiri & menjala kan hidup sbg istri atau suami. Berbekal itulah, saya juga menerapkan kpd anak2, alhamdulillah saya dpt membeli anal2 rumah sederhana. Maau ditempati ailakan mau dijual silakan yg penting, tinggal terpisah setelah berumah tangga.
Makasih udah mampir Mba
Semoga hubungan mertua-menantu kita semua baik2 aja yaaa. Alhamdulillah, 5 thn tinggal serumah dg mertua kami akur2 aja mbak. Memang semuanya kembali ke pribadi masing-masing ya. Mertua tidak terlalu ikut campur, dan si anak juga ga terlalu suka curhat. Yg namanya ortu dicurhatin anak ya jadi kepikiran, kan?
BalasHapusAku seneng baca tips mbak Srie di akhir. Andai para Ayah dan Ibu jaman Old mengerti bahwa urusan anak kami adalah kami yg mempertanggung jawabkan. Meski kakek nenek sayang cucu tapi gk boleh serta merta mencampuri urusan keluarga anak. Adem bacanya :)
BalasHapusTerima kasih denga sharingnya bu. Jadi pembelajaran untuk yang lebih muda.
BalasHapusEmang klo udah berumah tangga harus mandiri ya mbaa
BalasHapusHmm, jadi mencermati deh. Memang betul, ada baiknya hidup terpisah. Belajar mandiri dan juga namanya membentuk keluarga supaya lepas dari campur tangan orang
BalasHapus