Empat puluh tahun yang lalu,
tepatnya 15 Januari 1974 telah tejadi peristiwa
Malapetaka Lima belas Januari yang biasa disingkat MALARI. Dimana
para mahasiswa turun kejalan menentang
kebijakan ekonomi pemerintah orde baru
yang dikuasai Jepang sebanyak 40% .
Di jalan-jalan menjadi lautan
kuning, yaitu mahasiswa Universitas Indonesia yang berjaket almamater berwarna
kuning yang dikomandoi oleh Mariman Siregar, menutup sebagian jalan di depan
istana Negara dan istana merdeka.
Para pemuda
penerus bangsa tersebut
membakar barang-barang produk
Jepang, di saat kunjungan Perdana Meteri Jepang ke Indonesia di tanggal 15
Januari 1974. Di jalan raya mobil-mobil buatan Jepang diberhentikan, lalu
di bakar, si pemilik hanya bisa membisu
menyaksikan mobilnya dibakar massa. Kobaran api
menjilat-jilat badan mobil dan
menghanguskannya. Kobaran api bak memompa semangat para pemuda memperjuangkan aspirasi
untuk yang terbaik bagi negeri ini.
Aku yang saat itu masih duduk di
bangku SMP, dipulangkan lebih cepat dari
sekolah karena kejadian tersebut.
Sepanjang jalan menuju rumah yang
ramai dipenuhi para mahasiswa yang
berdemonstrasi dan masyarakat yang menonton berbaur menyaksikan
pembakaran mobil-mobil buatan jepang yang berlalu lalang di jalan raya.
Penumpangnya di suruh turun dan wuuuisss….api
menyulut badan mobil tanpa dapat dicegah.
Aku akhirnya ikut menyatu dengan para mahasiswa dan mengikuti geraknya, dari sekolahku di Jalan Dr. Soetomo kearah kantor pos Pasar Baru, Santa Ursula dan aku tidak masuk ke komplek rumahku, tapi terus menuju
jalan Ir.Juanda. Di depan istana
Negara terlihat mobil tentara beriringan keluar dan berusaha
membubarkan kerumunan para demontran.
Sementara di depan show room
mobil astra yang terletak bersebrangan dengan istana negara, telah berkobar api
besar yang membakar sebuah mobil sedan,
tetapi masih terlihat para mahasiswa
sedang memecahkan kaca show room dan berusaha mendorong keluar mobil yang ada di dalam. Tidak
terbesit rasa takut sedikitpun, aku malah senang, hatiku merasa ikut
berkobar bak lidah api yang menjilati
mobil buatan jepang yang dibakar.
Aku masih dalam balutan seragam
batik kebanggaan sekolahku SMPN 5 dan
tas sekolah masih menggayut di bahu,
telapak tanganku menggenggam erat tangan
sahabatku Andriyani yang juga terlihat
senang mengikuti apa yang terjadi.
Karena kejadian tersebut tidak jauh dari tempat tinggal kami, cukup
dengan berjalan kaki saja. Terdengar
suara dari pengeras suara yang menyuruh
bubar para demontran yang diteriakan oleh seorang tentara yang berdiri di mobil jip tentara dari jalan
veteran, tetapi tidak seorangpun dari kerumun itu bergerak untuk membubarkan
diri.
Tiba-tiba sepasukan tentara datang membubar paksa para demontran yang
lari tunggang langgang menghidari para tentara, aku pun ikut lari menuju arah
rumah. Kuantar pulang temanku dan aku
melanjutkan pulang. Kulirik jam tangan
yang melingkar di tanganku, jarum pendeknya telah menunjuk angka tiga.
He..he..he.. sudah hampir dekat rumah, aku bertemu kakak yang langsung
menggamit tanganku dan mulutnya melontarkan omelan panjang lebar. Kakakku yang disuruh ibu mencariku, tidak
berani pulang karena belum menemukanku, sudah terbayang deh hukuman apa yang akan kakak dan aku terima dari ibu.
Maklum saja kami anak kolong,
istilah untuk anak-anak tentara yang dalam konsidi seperti ini pasti ibu harus
sendirrian mengawasi kami, anak-anaknya> Karena bapak dalam kondisi Negara seperti
itu, dapat dipastikan tidak akan pulang karena tugas. Sementara
kami aalah keluarga besar yang membuat ibu sulit mengawasi kami
semua. Malari adalah kejadian pertama yang aku alami tanpa aku sendiri tidak mengerti arti dari
pergerakan tersebut, hanya ikut arus
menonton kejadian itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar