Senin, 02 April 2018

RASA TIDAK TEGA MERUPAKAN SUMBER KEHANCURAN



Maaak.....lagi pada ngapain nih...?  Aku lagi baper  sampe mewek lagi

Pernah ga sih melihat atau mendengar cerita seorang anak yang tidak berbakti kepada orangtuanya?. Atau paling ngga mendengar keluhan seorang ibu yang kecewa kepada anaknya, entah karena kuliah yang ngga selesai-selesai, ngga mau mendengar nasihat orangtua sampai anak yang tidak mau membantu orangtua. Bahkan yang ektrim, orangtua dibuat seperti pembantu rumah tangganya untuk mengurus  anak-anaknya. 

Aku  tuh baper banget kalau udah jadi pendengar cerita teman tentang anak-anaknya. Saya bahagia kalau ada orangtua yang bercerita tentang keberhasilan anaknya. Ada yang hanya perlu didengarkan, ada yang minta saran dan ada pula yang minta saya turun tangan bicara dengan anaknya. Naah...kalau sampai harus turun tangan, aku biasanya nanya sampai detail dari awal, lalu cari ahli untuk saring dulu. Kalau sudah aku dapat langkah-langkahnya, barulah aku siap membantu menyelesaikan.

Setiap cerita tersebut, selalu aku sampaikan kepada anak-anakku pada saat makan malam. Hal itu aku jadikan pembelajaran, agar anak-anak mengerti dan mengetahui bagaimana mereka harus bersikap terhadap orangtua. Bahkan  seringkali anak-anak membantu memberikan masukan. Aku berharap anak-anak dapat belajar dari setiap kejadian tersebut.

Kisahnya:

1.    Seorang teman mendatangi meja ku di suatu pesta dan bercerita,  anaknya sudah enam tahun kuliah belum selesai. Aku kenal anaknya, dia satu kampus dengan anakku, hanya beda  fakultas.  Anakku sudah  selesai  3 tahun yang lalu, dengan predikat cum laude (bukan bermaksud sombong, tapi   bangga dengan diri sendiri  yang berhasil  memompa semangat anakku).

Teman  berkeluh kesah  karena anaknya dalam menyelesaikan skripsinya, tapi mentok terus dengan alasan dosen pembimbingnya  menolak judulnya. Juga meminta  menggunakan penelitiannya yang aneh-aneh. Akhirnya anaknya  ga tahan dan minta pindah   kuliah, sementara dia mau anaknya tidak pindah.  Dulu itu susah masuk ke universitas negeri. Begitu ceritanya  sambil  mewek. 

“Aku minta tolong, Mba nasehati  anakku. Dia nurut kalau Mba yang bilangin. Tolong ya Mba, aku ngga mau dia pindah dari sana.”  Begitu mintanya dan  aku menggali masalah yang terjadi.

“Ok, aku coba ya. Nanti ku kabari.  

Sesuai janji, aku menghubungi anak tersebut. Namun   tidak diangkat, mungkin dia sudah tau kalau aku akan menanyakan masalahnya. Karena   di medsos aku suka menanyakan kabar kuliahnya. Akhirnya aku dapat bicara dan skripsinya terhambat karena ada 6 mata kuliah yang belum diambil, padahal itu mata kuliah wajib. “Jleb”  dengarnya. Yaa..sudah masih ada waktu kan sementer depan untuk menuntaskan yang belum diambil? Jawaban yang diberikan ngga memuaskan ku, intinya tetap minta pindah karena kalau ngga di DO.  Mama juga sudah setuju, kalau aku pindah.

Sumpah air mataku meleleh mendengar jawabannya. Karena ibunya mengatakan kalau dia sudah abis-abisan untuk membiayai kuliah anaknya, sampai kakaknya tidak kuliah hanya agar adiknya bisa kuliah. “Maklum dia anak laki-laki Mba” begitu mamanya bilang.   Mamanya single parents. Aku berusaha  terus membujuknya dan memberikan beberapa alternative  agar tidak sampai pindah, setelah  mendapat masukan dari anakku.  Ku dengar dia juga menangis, semoga berhasil.
Aku sampaikan hasil pembicaraan dengan anaknya & inti masalahnya bukan karena dosen pembimbing, tapi belum mengambil 6 mata kuliah wajib sehingga penulisan skripsinya harus terhenti sebelum menyelesaikan mata kuliah tersebut.  Anak tersebuut masih dapat terus kuliah tanpa di DO, tapi harus diurus ke TU kampus.  Tindaklanjutnya tinggal ibunya yang melaksanakan.

Saat ketemu kembali dengan ibunya, tanpa ditanya langsung meluncur cerita. Kalau anaknya tetap pindah, tapi ke daerah lain dang a mau di Jakarta. Woow…..bisa dibayangkan berapa puluh juta biaya yang harus dikeluarkan masuk ke universitas swasta, berapa biaya perSKS nya. Biaya kos dan kebutuhan sehari-hari.  Miris saya mendengarnya dan speechless.

Pelajarannya:

Anak itu tetap harus selalu dalam bimbingan orangtua, walaupun sudah kuliah. Apalagi kuliah diluar kota, andai ngga bisa menjenguknya secara rutin ke sana, jangan putus komunikasi. Kita sebagai orangtua harus tau, kapan anak harus menyetop kegiatan diluar kuliahnya agar pendidikannya bisa selelsai tepat waktu. Kenali teman-temannya, agar kita dapat mengetahui pengaruh yang ditularkan teman-temannya.  Usahakan  beri gambaran kepada  anak-anak ketika dia akan mulai kuliah dan pantau  kegiatan kuliahnya serta teman-temannya.

Anak ku yang sejak kecil belum pernah tinggal jauh dengan orangtua, dia memilih kuliah di luar kota. Saat mengantarnya, aku harus menguatkan hati agar tidak tega dan tidak menangis ketika meninggalkannya di kamar kos. Sendirian, ngga ada keluarga hanya beberapa temannya. Bagaimana teirisnya hatiku saat dia telpon  “aku lapar mama, makanannya ngga ada yang seenak masakan mama”    Bahkan sampai sakit, karena kurang cocok dengan makanan yang ada.

Kondisi ini justru aku manfaatkan untuk memecut semangatnya agar belajar sungguh-sungguh dan menyelesaikan kuliahnya dengan cepat.  Dia seringkali mengatakan “aku pengen pulang mama” Maksudnya pulang, ngga kembali lagi.

“Oh Ade mau pulang?  Yaaa…cepet  lulus”  jawab aku
Ternyata, kata-kata tersebut aku liat telah tertempel didinding kamarnya

 
Kata2 Emaknya, dia tempel
Setiap anak itu unik dan tidak ada anak yang sama walau dia saudara kembar sekalipun. Kakaknya kuliahnya selesai tepat waktu, tapi penyelesaian skripsinya terbengkalai karena keasyikan kerja. Maklum saat PKL dia langsung diangkat jadi pegawai. Mau tau apa punishment yang aku kasih?  Silakan  tanggung sendiri biaya kuliahnya sampai wisuda…hehehe…..bayangin aja kalau satu semester 7 juta, lah kalau setahun berapa tuh?......Tapi namanya orangtua, saat mau ujian koprehensif dan wisuda Emaknya  ga tega juga, nanya berapa harus bayar. Jawabanya bikin Emaknya sock!  “Tenang Ma, aku ada kok. Uang Mama simpan aja.”     Kereeeen…….Emaknya girang  tau, uangnya ga jadi dipakai….wkwkw.

Kata2 Emaknya dia jadikan penyemangat
2.       Seorang tetangga dekat bercerita saat kita sama-sama belanja di tukang sayur yang lewat di depan rumah. Selesai belanja biasanya ibu-ibu masih ngobrol, tiba-tiba dia mendekati ku dan berkisah. Aku sangat paham dengan ibu ini yang menjadi tulang puggung keluarga, Suaminya sudah ga bisa kerja karena strok, menantunya tidak bekerja dan tinggal bersama dengannya. Bahkan pekerjaan rumah tangga, dia pula yg mengerjakannya. Tinggal bukan di rumah sendiri alias kontrak.

Pelajarannya:

Aku ngga bisa menyalahkan anak si ibu, karena kesalahan tersebut bukan sepenuhnya ada ditangannya. Namun kembali ke orangtuanya, apakah dia mengajarkan anaknya  untuk  hidup mandiri dan kenapa dinikahkan kalau calon mantu tidak punya kerjaan.  Ibu harus berani bicara dengan anak dan menantu selama dia tinggal menumpang di rumah. Hal ini seperti lingkaran setan yang  ngga ada penyelesaiannya,  karena ketidaktegasan orangtua dengan dalih  “ ngga tega”  lalu kapan anak mau dewasa kalau terus ibu lindungi.

Sejak kecil seorang ibu selalu mengajarkan anak-anaknya untuk mandiri dan tanamkan itu hingga anak-anak dewasa.  Kemandirian itu ada dua macam:  Mandiri secara mental dan mandiri secara ekonomi. Saat anak-anak telah bekerja, ajarkan  hidup mandiri  agar dapat menolong dan mengurus diri sendiri. Mandiri secara ekonomi, didik anak-anak untuk membiayai  hidupnya  dari  hasil keringatnya sendiri.  

Bantu merencanakan masa depan anak sesuai kemampuannya, sehingga pada saatnya memasuki dunia rumah tangga mereka tidak akan bergantung terus kepada orangtua. Bahkan bisa membantu orangtua.

Memang paradiqma masyarakat tingkat menengah ke bawah, anak yang telah menikah dan tetap tinggal bersama orangtua dianggap hal yang wajar. Mari kita ubah hal tersebut menjadi lebih baik dan sepatutnya, karena tidak selamanya orangtua akan terus mendampingi anak-anak. Apalagi terus menjadi beban orangtua.  

Hal yang perlu diingat, semua itu tetap salah orangtua karena tidak mendidik dan membimbing anak-anak dengan baik dan benar. Andai dididik sejak kecil, tentu akan lebih mudah bukan?.

 Saran:
  • Didik anak agar mandiri sejak kecil
  • Beri pengertian tentang mandiri saat mereka dewasa dan latih untuk dapat mengurus dirinya sendiri
  •   Bimbing mandiri secara ekonomi, demi masa depannya
  • Jangan biarkan anak laki-laki menikah, bila belum mepunyai pekerjaan
  • Usahakan hidup terpisah, bila anak telah menikah dan buang jauh rasa tidak tega Anda. Karena  hal itu justru akan menghancurkan masa depan anak Anda sendiri.
  • Beri contoh teladan, karena hal itu akan lebih cepat diserap anak
  • Nasihatkan anak perempuan Anda, untuk mengingatkan suaminya terhadap ibunya. 
  •  Ingatkan anak laki-laki Anda, bahwa dia bertanggungjawab terhadap kedua orangtuanya.
Orangtua aku telah menerapkan pendidikan seperti ini, sehingga anak-anaknya alhamdulillah mandiri. Kalau ada anak yang belum mampu, ibu ku membayarkan kotrak rumanya untuk dua bulan, selebihnya sudah harus bayar sendiri.

Alhamdulillah, pendidikan ini pula yang aku ajarkan kepada dua anakku. Walau aku telah membelikan rumah dari hasil asuransi beasiswa anak-anak yang tidak dipergunakan, alhamdulillah anakku yang pertama sebelum menikah telah memiliki rumah sendiri dan langsung pulang ke sana setelah pesta pernikahan usai.

Semoga bermanfaat.

11 komentar:

  1. Wah, nampaknya saya harus belajar parenting sama Mbak Ningsih nih yang udah jauh berpengalaman. TFS ya Mbak :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Itu pengalaman pribadi Mba. sekarang saya bisa tau mana tg benar dan perlu diperbaiki wkt membesarkan anak2. Alhamdulillah yg benar bisa di share & yg salah perlu ditinjau ulang.

      Hapus
  2. Benar banget Mbak Srie, kalau kita enggak mengajarkan kemandirian sejak dini seperti kasus di atas..pas sudah berkeluarga eh masih nyusu sama orang tua..hiks!
    Terima kasih pencerahannya dari ulasan ini..Harus banyak belajar nih saya:)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ternyata anak yg tetap menyusu kpd orang tua stlh menikah itu sangat banyak terjadi di masyarakat kita, Mba Dian.
      Miris melihatnya, tp itu buah hasil didikan orangtua yg hrs diterima.
      Kita hidup memang hrs terus belajar & semua itu tertuang dalam calon buku solo saya secara lengkap. Makasih sdh mampir Mba Diana

      Hapus
    2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
  3. Senang membaca ini bu sri. Sebagai mahmud (mamah muda), tulisan ini jadi salah satu tempat saya belajar. Sungkem bu sri.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah klo bermanfaat Mba Lisdha. Saya dididik kejam menurut saýa wkt kecil oleh ibu saya, tp ternyata stlh dewasa saya sangat berterima kasih dg beliau. Karena dpt mengerjakan urusan RT & anak.
      Makasih sudah mampir, salam sayang.

      Hapus
  4. bener banget bunda srie, kemandirian harus di taman sejak dini. Walaupun orang lain melihat seperti kejam, tapi memang harus mulai mandiri.
    terima kasih untuk sharingnya ya bunda :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul Mba Egy, biar ga anak2 ga selamanya hidup dibawah ketiak orangtua. Makasih sdh mampir Mba

      Hapus
  5. Wah iya kemandirian kalau buat saya bahkan lebih utama ketimbang akademik itu sendiri. Ada somebody yang membanggakan anaknya selalu dapat nilai 100 dan juara kelas. Ketika tangannya patah dan mesti diperban, barulah dia sadar... anaknya udah kelas 1 SD belum dia ajarkan untuk mandi sendiri. Tangannya yg lagi diikat, nggak bisalah dia gunakan untuk mandiin anak. Begitupun ketika ada outing class dan ortu ga boleh masuk arena. Panik lagi karena anak nggak pernah diajarkan ganti baju sendiri.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul Mba Nita, krn kemandirin harus sejak kecil diajarkan. Kalau tidak ya akan merepotkan orangtua, nenek & orangtua sendiri

      Hapus