Jika aku mengingat sosok yang
telah melahirkanku, beragam rasa berbaur mengharu biru memenuhi kalbu. Belum
lagi dosaku kepadanya, layaknya buih dilautan. Aku sering merenung, apakah cukup permohonan maaf dan
ampunku ke Ibu atas semua salahku? Aku percaya Ibu pasti mengampuniku, terlihat
dari sorot matanya di detik-detik kepergiannya.
Sepulang dari rumah sakit ibu
minta aku yang menjemputnya, dengan mobilku dan harus aku yang menyetir. Ternyata ibu minta dibawa
jalan-jalan naik turun jalan semanggi,
melihat sarinah dan sebelumnya mampir di monas
menyakskan air mancur joget. Padahal ibu hanya bisa duduk bersandar di
mobil dan menikmati semua itu dari jendela mobil. Keluar dari rumah sakit jam
dua siang, baru sampai rumah jam Sembilan malam dan itu hanya aku berdua. Ibu
menyuruh perawat menelpon aku di kantor dan memintanya datang. Aku senang mendengar ceritanya saat meminta
memutari jalan semanggi, ibu masih ingat saat membawa anak-anaknya dengan motor
harly yang ada boncengannya di samping & membawa aku dan adik-adik JJS ke semanggi.
Diantara selusin anaknya, hanya
aku yang paling berani menentangnya. Kami terdiri dari tujuh anak perempuan dan
lima anak laki-laki, hampir semua takut dengan ibu. Aku menentang
prinsip yang dianut ibu, yaitu “Anak perempuan ngga perlu sekolah tinggi-tinggi,
yang penting bisa baca tulis. Percuma sekolah tinggi-tinggi, nanti larinya ke
dapur juga. Ngurus suami, anak dan rumah tangga.”
Aku ngerti, jaman itu masyarakat berpikir seperti itu. Anak perempuan tidak
diberi kesempatan untuk mengenyam pendidikan setinggi-tingginya, karena pencari nafkah adalah anak laki-laki. seringnya perkataan itu diucapkan, terutama
kepada kakak-kakakku yang perempuan. Akhirnya
terpatri dibenakku dan menimbulkan pertanyaan. Kenapa anak perempuan ngga boleh
sekolah tinggi? Dan pertanyaan itu akhirnya terlontar dari mulutku yang membuat
ibu marah. Saat itu aku masih
kelas 5 SD, karena aku senang
membaca membuat pikiranku berkembang
dan terbitlah keinginanku untuk bisa kuliah.
Aku nggak memungkiri kalau ibuku
adalah orang yang hebat dan sangat luar biasa, bahkan cara mendidik
anak-anaknya yang awal-awalnya menurut
kami kejam, ternyata kami salah
menilainya. So…kenapa sih kami, anak-anaknya sampai tega mengatakan ibu kejam
dalam mendidik? Bayangkan saja mulai
kelas 4 SD, setiap anak sudah mulai mendapat tugas menyapu dan mengepel seluruh
rumah. Aturan itu berlaku untuk semua anak, tidak pandang anak laki-laki atau
perempuan, padahal kami punya dua asisten rumah tangga. Setiap tahun
pekerjaan tersebut akan meningkat, ditambah
dengan mencuci piring.
Saat kelas enam SD kita sudah
harus bisa memasak nasi yang menggunakan dandang dengan kukusan, maklum
belum ada rice cooker atau magic jar seperti jaman now. Kesal?...pasti, belum
lagi harus pula momong (mengasuh) adik. Pokoknya kegiatan tiap anak seperti
sudah terjadwal sejak bangun tidur, sampai akan tidur kembali.
Ketika SMP mencuci baju sekolah
menjadi kewajiban masing-masing anak, terus seperti itu sampai setiap anak bisa
mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan mengurus anak. Tiga kakak
perempuanku semua manut dengan keyakinan ibu dan mereka hanya sekolah sampai
SMP dan sekolah madrasah untuk memperlancar mengaji sambil menanti jodoh datang.
Aku berusaha mencari jalan agar
dapat terus bersekolah, Alhamdulillah otakku encer dan selalu masuk tiga besar.
Hal itu aku manfaatkan untuk bisa bernegosiasi dengan ibu dan salah satu yang
memuluskan jalanku adalah kesibukan ibu, sehingga aku bisa melenggang ke SMA.
Ceritanya ketiga lulus SMP, nilaiku memuaskan dan dapat masuk di SMA negeri
tanpa repot. Aku hanya bilang minta uang untuk beli seragam dan
buku baru, terdaftarlah aku di SMA negeri. Nanti kalau ibu akhirnya mengetahui,
aku sudah membicarakan ini dengan bapak yang siap membantuku. Ternyata
ngga mudah menghadapi ibu dengan prinsipnya, tapi aku ngga mau menjadi
korban seperti tiga orang kakak perempauanku yang menikah diumur 17 tahun. Dengan bantuan bapak, akhirnya berhasil…….hehehehe.
Alhamdulillah aku di SMA mendapat
beasiswa setiap bulan, uang itu aku pergunakan untuk membayar uang sekolah dan keperluan lain. Biar ngga ke
marah kalau aku minta uang. Namun perjalananku untuk bisa kuliah, ternyata
harus terganjal dan gagal. Aku mendapatkan
tiket khusus masuk di sebuah perguruan tinggi negeri, karena prestasi
yang aku ukir. Tapi kehendak Allah
berkata lain, ibu tidak mengijinkan, apalagi diluar kota. Aku merengek untuk
bisa lanjut kuliah, tapi ibu akhirnya mengatakan :
“Kalau kamu kuliah, adik-adikmu
ngga bisa lanjut sekolahnya”
“Duh Gusti,” aku ngga bisa
ngomong apa-apa dan hanya air mata yang menganak sungai menandakan
kekecewaanku. Aku harus kuat dan bisa move on, ternyata Allah telah menyediakan
rencana lain untukku. Aku diterima bekerja di perusahaan besar dengan gaji yang
lumayan. Aku bertekad dalam hati, suatu saat aku akan bisa kuliah dan aku harus
bisa menyelematkan adik-adikku terutama yang perempuan untuk bisa terus
bersekolah. Ibu juga mulai mendukung adik-adikku untuk terus bersekolah.
Akhirnya aku dapat mewujudkan
cita-citaku untuk kuliah dengan biaya sendiri. Betapa mata ibu berkaca-kaca
saat menghadiri wisuda kelulusannku. Ibu memelukku dan membisikan kata-kata “Ibu
bangga padamu yang begitu gigih minta sekolah dan kuliah. Begini rasanya
bahagia menyaksikan anak ibu di wisuda, sekolahkanlah cucu-cucu ibu nanti setinggi bintang dilangit.”
Ucapnya sambil menciumku.
Pelajaran dan didikan Ibu kepada
anak-anaknya yang dulu kita bilang kejam.
Ternyata saat kita menikah semua pelajaran itu sangat berguna, aku bisa
mengurus rumah tangga, memasak, mengurus anak dan urusan rumah tangga lainnya. Terima
kasih Ibu, untuk semua pelajaran yang telah kau berikan. Memang
semua itu harus dipaksa agar kita dapat mahir mengerjakannya. Dan aku telah melaksanakan kan pesanmu, cucu-cucumu kubiarkan mereguk pendidikan setinggi yang mereka inginkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar