Kamis, 11 April 2013

Jika Malu menjadi Sesuatu yang Langka



 

      Berbagai media saat ini selalu menayangkan berbagai tindak korupsi yang dilakukan para abdi negara, dari tingkat terendah sampai tertinggi.  Begitu juga para anggota Dewan yang terhormat, satu persatu terseret jadi tersangka.  Sedihnya lagi semakin diberantas, semakin tumbuh subur  pelaku-pelaku baru, bak ilalang disiram hujan. Pelaku korupsi yang tertangkap tangan dengan jelas dapat disaksikan dilayar kaca wajahnya, bahkan namanyapun dibacakan dengan lengkap. Entah kenapa wajahnya tidak dikaburkan atau ditutup. Apakah kode etik jurnalistik memang sudah membolehkan hal itu atau ada alasan lain, tetapi ada pula yang mengatakan sebagai salah satu sanksi sosial agar masyarakat mengetahui.

     Tidak habis pikir saya setiap menonton tayangan tersebut, apa yang ada benak pelaku? Apakah mereka tidak memikirkan keluarganya? Bagaimana dengan perasaan anak-anaknya jika mengetahui bapak/ibunya sebagai pelaku korupsi ?  Keserakahan dan  kerakusannya  telah merugikan orang banyak dan menghancurkan bangsa ini. 

     Pengabdian para abdi negara seakan dibenarkan berbuat tidak jujur karena penghasilan yang diberikan terlalu kecil dan kurang untuk biaya hidup layak keluarganya. Tetapi setelah penghasilan disesuaikan, korupsi juga tidak berkurang, malah semakin merajalela dan terang-terangan. 
     
    Saya pernah punya pengalaman disalah satu Kecamatan ketika mengurus perpanjangan KTP. Ketika meminta surat pengantar  di Kelurahan, begitu masuk, terpampang  stiker besar di dinding dan dibeberapa depan meja pegawai yang bertuliskan "Sesuai  peraturan daerah No 2 Tahun 2010 (kalau saya tidak salah), untuk  pembuatan KTP, KK, Akte Kelahiran dan Surat Kematian tidak dipungut biaya apapun, alias GRATIS!"  Setelah tiba di Kecamatan dan menyerahkan surat pengantar dari Kelurahan dan data yang diperlukan, saya diminta membayar sepuluh ribu rupiah. "Ooo.."guman saya sedikit terkejut sambil mencari-cari  stiker yang tertempel di Kelurahan tadi, ternyata tidak ada di kecamatan. "Tadi di kelurahan ada stiker yang bertuliskan kalau buat KTP itu gratis, Mas" protes saya ke petugas.  Petugas tersebut hanya berkata pendek, "biayanya sepuluh ribu, setelah itu ibu ke ruang sebelah untuk foto" tanpa menjawab pertanyaan saya. Akhirnya saya berikan uang sepuluh ribu dan meminta kwitansi sebagai bukti pembayaran. Ketika  membaca kwitansi yang diberikan, saya protes lagi (karena keterangan di kwitansi   kalau saya akan melakukan perubahan nama). 
"Wah..Mas, kalau terima berkas harusnya dibaca dulu. Saya tidak melakukan perubahan apa-apa, tapi mau memperpanjang KTP, karena E-KTP saya masih ada kesalahan."  protes saya kembali. 
Setelah membaca berkas saya, akhirnya uang saya dikembalikan, tanpa  ucapan permohonan maaf. Itu kah yang disebut pelayan masyarakat? Dimana ada celah disana dimanfaatkan. 
Apa yang salah sebenarnya?  Mungkin  bangsaini dibangun  tidak dibarengi dengan pembinaan mental yang baik,  sehingga rasa malu sudah benar-benar menjadi sesuatu yang sangat langka dinegeri tercinta ini dan moral entah  dimana keberadaanya.  
     
      



Tidak ada komentar:

Posting Komentar