Kamis, 30 Mei 2013

Seremonial Sekolah yang Kurang Bermanfaat, perlukah?




Satu bulan ke depan  tempat-tempat peminjaman uang  pasti diserbu masyarakat,   seperti pegadaian, koperasi-koperasi kantor dan begitu pula dengan bank-bank yang menyediakan pinjaman multi guna  untuk mencari pinjaman uang. Semua  pencarian   pinjaman itu, tak lain agar para orang tua tetap dapat menyekolahkan anak-anaknya. Begitulah dinamika yang tertangkap setiap awal tahun pelajaran di negeri ini.
Biaya yang harus dikeluarkan sudah dimulai sejak anak-anak memasuki semester kedua, diawali dengan  pembelian buku paket semester lanjutan. Setelah itu para  orang tua juga sudah harus menyiapkan dana untuk   mengikuti pelajaran tambahan bagi anak-anak yang akan menghadapi  ulangan akhir semester atau  ujian nasional. Ada pelajaran tambahan yang disediakan  sekolah atau melalui bimbingan belajar yang nota bene pengeluaran uang lagi kalau mau naik kelas atau  lulus ujian nasional.   
Begitu  anak-anak naik kelas atau lulus ujian, pengeluaran berikutnya sudah menanti lagi. Bagi  murid yang naik kelas, pengeluaran  biaya  daftar ulang,  pembelian  buku paket yang harganya selangit,  buku tulis, seragam dan pembelian sepatu atau tas baru sudah membuat  kepala para orang tua pusing tujuh keliling.   Sementara bagi murid yang duduk dibangku akhir sekolah, biasanya orang tua sudah diberikan surat pemberitahuan dari sekolah segala biaya yang harus dilunasi sebelum ujian dilaksanakan. Mulai dari biaya pelajaran tambahan, biaya foto untuk ijasah, pembelian baju untuk   tampil di buku tahunan dengan foto yang sesuai dengan themanya.   Dan buku tahunan tersebut  dijual dengan harga mencapai ratusan ribu rupiah, celakanya lagi buku tersebut wajib dibeli oleh setiap murid yang lulus ujian.
Saya tergelitik untuk  menanyakan perihal  buku tahunan tersebut kepada pihak sekolah, karena menurut hemat saya hal itu hanya membuang-buang uang  saja.   Ternyata hal itu bukan merupakan kebijakan sekolah, tetapi  OSIS. Tapi apakah tidak ada guru yang mengarahkan OSIS ? Dapat kita bayangkan, bagaimana jika anak yang orang tuanya tidak mampu. Jangankan untuk membeli buku tahunan, untuk biaya masuk sekolah lanjutan aja mungkin belum terbayang  dari mana  biaya akan di dapat.
Apakah para guru tidak dapat mengarahkan hal yang lebih berguna dari pada hanya sebuah buku tahunan kepada anak didiknya ?. Dan   yang membuat saya lebih terkejut mendengar  jawaban seorang guru ketika saya tanya kok bisa semahal itu harganya ?  “Harga segitu tidak seberapa dan pantaslah, karena dibuat dengan edisi sangat luks.” Begitu jawabnya. Sebenarnya yang perlu kita pertanyakan. apakah buku tersebut begitu pentingnya ? Bukanlah buku tersebut dapat dibuat  sederhana saja.
Lalu apakah  biaya itu selesai sampai di situ ?.  Oh……belum !. Begitu murid dinyatakan lulus, masih ada biaya ekstra yang harus dikeluarkan lagi dan tentunya dengan jumlah yang tidak sedikit. 
Tiga atau empat tahun belakang ini ada tren baru yang  menurut saya terlalu berlebihan atau mengada-ada, yaitu  dengan diadakannya wisuda atau pelepasan siswa tingkat SMP dan SMA yang telah lulus.  Para orang tua harus merogo sakunya lebih dalam lagi untuk  pembayaran biaya wisuda dan  dalam pelaksanaan wisuda setiap murid putri diwajibkan memakai pakaian nasional dan murid laki-laki memakai jas lengkap. Biaya yang dikeluarkan untuk menyiapkan pakaian nasional dan jas, tentunya membutuhkan biaya yang lumayan bagi saku orang tua. Apakah  perayaan ini sudah berakhir  ?. Catat pembaca, belum !. Masih ada acara berikutnya yang dikhususkan bagi seluruh murid yang lulus, yaitu  malam perpisahan murid yang biasa  disebut  promp night. . Para orang tua hanya dapat mengeluh pussiiiiiing…..!  
Dapat Anda bayangkan apabila  ada orang tua yang  ekonominya  tidak mendukung, padahal  semua acara itu  tidak dapat ditawar karena harus dan wajib diikuti oleh setiap murid. Apakah  hal  ini  tidak  dapat membuka  mata dan  hati para guru ?. Mudah-mudahan tidak ada murid yang frustasi dan melakukan nekad  karena tidak ada biaya untuk  memenuhi semua itu.
Apakah  pengeluaran biaya berhenti sampai di situ  ?. Tentunya tidak.  Perjalanan masih panjang untuk pengeluaran biaya selanjutnya. Yang lulus  SD harus mencari sekolah lanjutan pertama, yang lulus SMP harus mencari sekolah lanjutan atas dan yang sudah lulus SMA tentunya  masuk kuliah. Pasti sudah terbayang  rupiah yang akan dikeluarkan. Karena masyarakat sudah mengetahui tidak ada sekolah yang gratis, apalagi untuk biaya pertama kali masuk. Ada uang  bantuan gedunglah, ada uang pendaftaranlah dan ada saja uang lain-lain yang sebenarnya tidak perlu.
Wajib belajar  9 tahun seakan hanya sebuah slogan. Karena yang gratis hanya bayarannya, tapi untuk uang pendaftaran, uang masuk (uang pangkal) dan pembelian buku paket tetap harus keluar uang. Seandainya kita dapat menyimpan dari uang untuk perayaan kelulusan dan biaya lain yang tidak perlu.  Apalagi bagi siswa  yang akan melanjutkan ke SMP dan SMA yang terpaksa harus mendapatkan sekolah swasta karena NEM-nya kecil dan. Yang lulus  SMA harus meneruskan kuliah, tentu  sudah terbayang berapa lembaran rupiah yang harus melayang.   
Apakah  kita akan selalu menutup mata dengan hal seperti ini ? Sudah  susah mencari sekolah karena biaya yang mahal tapi di lain pihak kita dengan enaknya mengeluarkan uang hanya untuk sebuah seremonial yang kurang bermaanfaat. Sebaiknya para guru dapat mencarikan cara untuk melakukan sebuah pelepasan atau pertemuan yang sederhana tetapi berkesan bagi murid yang akan meninggalkan  sekolah. 



2 komentar:

  1. Saat ini anak tunggal (perempuan) saya duduk di kelas 6 di salah satu sekolah swasta di Jakarta Selatan.
    .
    Pada rapat terakhir yang tidak saya hadiri karena berhalangan, rupanya juga dibahas mengenai pendalaman materi dan konsumsi yang saya rasa wajar plus buku tahunan yang direncanakan sebesar Rp 150rb.
    .
    Di grup WA kelas, saya tanyakan dan tanyakan bagaimana kalo dikeluhkan di media online sekiranya kualitas buku tidak sebanding dengan harganya. Tapi kemudian dianggap tidak boleh protes karena tidak ikut rapat. Ya akhirnya saya hanya diam.

    Cuma, masih tidak habis pikir, di saat sudah paperless, masih ada yang terpikir untuk bikin buku dan dengan 150rb, saya membayangkan buku sekelas apa yang bisa saya beli, walau sebenarnya, saat ini saya lebih memilih e-book, saat koleksi saya sudah lewat dari duaribu buah.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya Mba, begitulah sekolah anak2 kita. Semua harus orangtua terima tanpa boleh protes, yg pasti menyebalkan.
      Terima kasih sdh mampir ya Mba

      Hapus