Ulos merupakan salah satu seni
kerajinan tenun yang bernilai tinggi
dan tidak dapat dipisahkan dari
kehidupan adat Suku Batak,
karena digunakan dalam
berbagai aspek kehidupan orang
Batak.
Pada hari Rabu, 19 September 2018 aku menghadiri undangan
“Afternoon Tea Pameran Ulos Hangoluan dan Tondi” di Museum Tekstik
Jakarta. Acara ini bertujuan untuk melestarikan dan
memperkenalkan ULOS kepada
masyarakat luas. Kegiatan
tersebut dihadiri oleh Bapak
Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman RI,
Ibu Sri Mulyani, Menteri Keuangan RI dan undangan lainnya.
Pembukaan resmi Pameran
ini, telah dilakukan pada pagi harinya oleh Bapak Arief Yahya, Menteri
Pariwisata RI dan acara dilanjutkan berlangsung
sampai sore hari dengan menampilkan musik Gondang,
pembacaan puisi dan fashion show
dengan bahan kain ulos hasil karya Beni Sihombing. Acara yang
diselenggarakan oleh Yayasan DEL dan Tobatenun, berjalan lancar
step by step.
Ibu Devi Pandjaitan (kiri atas), Ibu Kerri Na Basaria (kanan atas) & Ibu Sri Mulyani (kiri bawah) |
Pameran ini diprakarsai oleh Ibu Devi Pandjaitan, yang ingin melestarikan
ulos. Dalam sambutannya beliau mengatakan, “akan membangun kampung
tenun ulos di Sumatera Utara dan memberikan
pendampingan. Hal ini agar
dapat mengangkat kualitas hidup para penenun
dan melepaskan mereka dari jeratan para tauke.”
Niat yang sangat luar biasa dan
patut diapresiasi, karena ulos merupakan salah satu kekayaan budaya bangsa
Indonesia yang sangat perlu dijaga kelestarian dan pengembangannya.
Fashoin Show karya Beni Sihombing |
Kain ulos yang dipamerkan sebanyak 50 buah, 25-30
ulos merupakan koleksi langka yang mungkin orang batak sendiri tidak mengenal
motif- motif tersebut. Kain ulos yang dipamerkan ini telah berusia lebih dari
50 tahun, yang merupakan koleksi pribadi
Ibu Devi Pandjaitan dan Ibu Kerri Na Basaria.
Waktu &
Tempat
Pameran ini digelar
pada tanggal 20 September – 7 Oktober 2018, di
Museum Tekstil Jl. Aipda KS. Tubun
No. 2-4, Tanah Abang-Jakarta. Pameran Ulos ini
dibuka untuk umum dengan jam operasional : pk. 10.00-18.00 WIB.
Anda ingin mengoleksi Tenun Ulos?
Silakan kunjungi
BAZAR TENUN ULOS, pada tanggal 29-30 September 2018 di tempat yang
sama mulai Pk. 09.00-16.00 WIB. Anda akan dimanjakan dengan koleksi tenun ulos aneka motif, yang dapat dipilih untuk
dimiliki.
Catat waktunya |
ULOS YANG DIPAMERKAN
Pameran ini berawal dari rasa keprihatinan Ibu Devi
Pandjaitan pada tenun ulos asli yang
dikhawatirkan akan punah. Bersama
putri tercintanya Kerri Na Basaria dari Tobatenun, berniat
melestarikan ulos dan debut
pertama dengan menggelar Pameran Ulos koleksi
pribadinya. Hal ini juga bermaksud untuk memperkenalkan salah satu kain tradisional Indonesia, yang berasal dari
Tanah Batak kepada masyarakat.
Pameran ini dikemas sangat apik
dan kekinian, diharapkan mampu menarik
minat pengunjung muda untuk mencintai ulos. Karena tak
dapat dipungkiri, bahwa adat ulos makin menurun seirama dengan menipisnya perhatian generasi muda setempat
akan pentingnya ulos.
Ruang pameran didisplay mengikuti siklus kehidupan
manusia, yaitu ruangan Kelahiran, Kehidupan, Pernikahan, Kematian dan Alam
Abadi. Ruangan pameran didesign sangat unik, dengan sekat kain hitam
yang memisahkan antar bagian ruangan. Memasuki
ruangan perkenalan (Introduction) pengujung disuguhi diorama kehidupan sehari-hari masyarakat Samosir.
Ulos Lobi-lobu |
Lanjut melangkah ke ruang
kelahiran (Birth), terpampang ulos warna
hitam bergaris putih dengan nama “Ulos Lobu Lobu” Ulos jenis ini diberikan kepada perempuan yang ingin hamil
atau baru melahirkan, yang berfungsi sebagai gendongan. Juga diharapkan dapat
melindungi anak-anak hingga generasi berikutnya.
Langkah berikutnya ke ruang kehidupan (life), merupakan gambaran alam,
penduduk dan perjalanan hidup manusia. Di ruang ini terpampang Kain Ulos Ragi
yang menjadi simbol kehidupan sejak anak-anak,
sampai berusia senja.
Ulos Ragi Angkola |
Melangkah lebih dalam kita memasuki ruang pernikahan (marriage), dengan dekorasi yang
cantik dan berbeda. Masyarakat Batak memiliki nilai tersendiri akan pesta
pernikahan, dengan tampilan kain ulos Bintang Maratur yang merupakan simbol suka cita. Dalam tradisi batak digunakan
untuk mangulosi pengantin yang melakukan hajatan. Ulos ini menggambarkan arti kesetia dan rukun dalam suatu ikatan
keluarga.
Ulos Bintang Maratur |
Kematian (dead), merupakan ruang
selanjutnya. Inilah siklus kehidupan
sesungguhnya, yang dialami semua orang dan ini akhir dari kehidupan di
dunia yang harus diterima. Langkah
pengunjung sudah dipenghujung ruangan, yaitu ruangan keabadian (paradise) di
sinilah tempat terakhir tujuan manusia, yaitu alam abadi.
Ulos Heteran |
Ulos Tutur |
Ruangan Paradise |
Disetiap tahapan ruangan
terpampang kain ulos yang digunakan
pada setiap fase kehidupan tersebut.
Pameran ini tidak dipungut biaya, tapi pengunjung hanya dikenakan biaya
restribusi museum sebesar Rp. 5.000,-
MUSEUM TEKSTIL
Mungkin tidak semua orang mengetahui
Museum Tekstil ini, tapi
kalau Pasar Tanah Abang tentu
tahu dunk ya…hehehe. Yup..museum
ini letaknya hanya beberapa ratus meter dari pasar
dan stasiun kereta tanah abang. Tepatnya di Jl. Aipda Ks. Tubun No. 2-4 Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Museum ini menempati gedung yang awalnya merupakan rumah pribadi
seorang berkewargaan prancis. Gedung yang didirikan pada abad ke 19 ini,
pada tahun 1975 dijual kepada Departemen Sosial dan diserahkan kepada Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin.
Pemerintah DKI Jakarta
memfungsikan gedung tersebut
sebagai museum tekstil, yang di fokuskan
untuk melestarikan tekstil tradisional Indonesia. Kemudian pada tanggal 28 Juni 1976
diresmikan oleh Ibu Tien Soeharto
sebagai Museum Tekstil.
ULOS BAGI ORANG BATAK
Ulos tidak dapat dipisahkan dari kehidupan orang Batak. Hal ini dikarena nenek moyang orang batak meyakini, bahwa yang memberi kehidupan bagi tubuh manusia
adalah : Darah, Napas dan Kehangatan. Kehangatan
yang dapat dinikmati setiap saat
dan dapat dilakukan dimanapun.
Secara
harafiah ulos berarti selimut, budaya ini sama tuanya dengan kebudayaan Batak
yang telah mengenal 3 konsep kehangatan yaitu:
Matahari, Api dan Ulos.
Namun Matahari terbit dan
terbenam setiap saat, sedangkan Api dapat di nyalakan setiap saat, namun tidak
praktis untuk di gunakan menghangatkan tubuh. Sementara Ulos sangat praktis
digunakan di mana dan kapan saja, sehingga Ulos menjadi barang yang sangat di
butuhkan. Pada akhirnya ulos menjadi
lambang kehangatan yang sudah mengakar di dalam budaya Batak.
Menurut penggunaanya ulos terbagi dalam 3
macam, yaitu :
1.
Diabithon, merupakan ulos yang digunakan ke tubuh menjadi baju atau sarung.
2.
Dihadanghon, ulos
yang penggunaannya diletakan di bahu sebagai selendang.
3.
Dililithon, ulos yang digunakan sebagai pengikat kepala.
Dalam beberapa ritual adat, Ulos
biasa diberikan kepada keluarga seperti
: ritual mengulosi dan ada aturan yang
harus dipatuhi, antara lain seseorang hanya boleh mengulosi kepada keturunan
yang berada dibawahnya. Misal, orang tua boleh mengulosi anaknya. Tetapi anak
tidak boleh mengulosi orangtuanya. Ulos yang dipergunakan juga harus sesuai
dengan ketentuan peruntukannya, karena setiap ulos memiliki makna tersendiri. Kapan harus digunakan, disampaikan kepada siapa dan dalam
upacara adat yang bagaimana, agar penggunaan ulos sesuai dengan
yang ditetapkan secara adat.
Dalam perkembangannya, ulos juga
diberikan kepada orang “non Batak”. Pemberian ini diartikan sebagai suatu penghormatan dan kasih
saying, misal diberikan kepada Presiden
atau Pejabat negara. Hal ini diharapan semoga dalam menjalankan tugas-tugasnya selalu
dalam kehangatan dan penuh kasih sayang kepada rakyat dan orang-orang yang
dipimpinnya.
TOKOH DIBELAKANG LAYAR
Indonesia yang terdiri
dari 1.340 suku bangsa menurut
sensus BPS tahun 2010, tentu memiliki
budaya dan kain khas tradisional masing-masing suku atau daerah. Sebut saja batik
yang sudah begitu terkenal dan menjadi pakaian sehari-hari masyarakat,
bahkan telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO yaitu Badan PBB yang membidangi
Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan pada tanggal 2 Oktober 2009. Untuk itu Pemerintah menetapkan setiap tanggal 2 Oktober
diperingati sebagai Hari Batik Nasional.
Begitu juga dengan kain tenun
tradisonal dari daerah lainnya, dan tidak mau ketinggalan dengan daerah lainnya
Kain Ulos
pun mulai unjuk gigi. Ibu Devi
Pandjaitan bersama putrinya Kerri Na Basaria merupakan tokoh yang
berada dibelakang layar Pameran Ulos, merasa terpanggil untuk ikut melestarikan Tenun
Ulos tradisional yang berasal dari kampung
halamannya Sumatera Utara.
Berawal dari rasa keprihatinannya
melihat kain Ulos tradisional yang di
tenun oleh para ibu mulai punah, karena
kalah bersaing dengan kain
ulos yang diproduksi. Memang tidak dapat dipungkiri, bahwa adat ulos makin menurun seirama dengan makin
menipisnya perhatian generasi muda setempat akan pentingnya ulos.
Niat mulia Ibu empat orang anak
ini lah yang tergerak untuk menggelar Pameran Ulos koleksi
pribadinya yang merupakan kain ulos
langka. Bahkan bukan hanya mengadakan pameran, tapi akan membangun kampung ulos dan memberikan
pendampingan kepada para penenun. Diharapkan kain ulos dengan motif-motif lama akan terjaga kelestariannya dan Kain
Ulos dapat diakui dunia sebagai warisan
budaya dunia, seperti batik.
Langkah ini merupakan salah satu
solusi untuk pelestarian ulos, sehingga
ketrampilan menenun ditanamkan juga kepada generasi muda. Ibu-ibu menenun untuk
memenuhi kebutuhan adat, dengan cara
tradisional yang motif-motifnya mengagumkan, sedangkan untuk tujuan pariwisata
dapat diproduksi secara masal melalui perusahaan.
MACAM-MACAM ULOS
Pada suatu kesempatan, saya bertakziah ke tempat seorang teman yang suaminya meninggal.
Suaminya orang Batak dan teman saya menggunakan ulos yang disampirkan
dibahunya. Saya hanya mengetahui seperti itulah adat Batak, bila ada
keluarganya yang meninggal semua menggunakan ulos. Ternyata saya keliru, karena
ulos yang dipergunakan teman saya ternyata salah menurut yang mengerti (memang
teman saya bukan berasal dari Medan).
Menurut seorang
sumber yang mengetahui adat istiadat Batak, teman saya itu harusnya
menggunakan ulos dengan motif dan warna yang sesuai dengan peruntukannya.
Karena ulos yang digunakan dapat
memberitahu, bahwa seorang istri yang ditinggalkan, sudah mempunyai anak dan cucu. Ulos yang digunakan akan berbeda pula, bila si
istri belum punya anak atau cucu.
Kira-kira seperti itu makna dari kain ulos dalam suatu ritual adat batak
yang saat itu baru saya ketahui.
Untuk itu saya akan menampilkan
beberapa Jenis Ulos dan fungsinya yang bersumber dari berbagai sumber. Saya berharap dapat
menambah wawasan Anda tentang Ulos
Batak dari tulisan ini.
1.
Ulos Antak-Antak
Ulos ini dipakai sebagai
selendang orang tua untuk melayat orang meninggal,
juga dapat digunakan sebagai kain yang dililit pada waktu acara manortor
(menari).
2.
Ulos Bintang Maratur
Ulos Bintang Maratur, paling
banyak kegunaannya di dalam acara adat Batak Toba yakni:
- Diberikan kepada anak yang memasuki rumah baru. Keberhasilan memiliki rumah baru di anggap sebagai salah satu bentuk keberhasilan atau prestasi tersendiri yang tak ternilai harganya. karena keberhasilan tersebut dianggap sebagai suatu berkat dari Tuhan yang maha Esa yang disertai dengan adanya usaha dan kerja keras yang bersangkutan di dalam menjalani kehidupan.
- Orang batak yang tinggal di berbagai puak/horja di sekitar Tapanuli telah memiliki adat dan kebiasaan yang berbeda pula. Walaupun konsep dan pemahaman tentang adat itu secara umum sama, namun pada hal-hal tertentu ada perbedaan dalam hal pemaknaan nilai dan konsep adat yang ada sejak turun-temurun. Oleh karena itu pemberian Ulos Bintang Maratur khusus di daerah Silindung di berikan kepada orang yang sedang bergembira, seperti saat menempati atau meresmikan rumah baru.
- Secara khusus di daerah Toba, Ulos jenis ini diberikan pada acara selamatan kehamilan 7 bulan yang diberikan oleh pihak hula-hula kepada anaknya. Ulos ini juga diberikan kepada Pahompu (cucu) yang baru lahir sebagai Parompa (gendongan) yang memiliki arti dan makna agar anak yang baru lahir itu di iringi kelahiran anak yang selanjutnya. Ulos ini juga dapat diberikan kepada pahompu (cucu) yang baru dibabtis dan dapat diguna sebagai selendang.
3.
Ulos
Bolean (membelai-belai)
Ulos ini biasanya di pakai
sebagai selendang pada acara-acara kedukaan dan diberikan kepada anak yang kehilangan orangtuanya.
Membelai-belai, dimaksudkan untuk menghilangkan rasa sedih agar hati
anak yang sudah kehilangan orang tua tabah menghadapinya.
4.
Ulos Mangiring
Ulos jenis ini diberikan kepada
anak cucu yang baru lahir, terutama anak pertama yang memiliki maksud dan tujuan
sebagai simbol agar nanti diberikan
anak kembali. Ulos ini juga dapat
dipergunakan sebagai alat gendong untuk anak atau sebagai selendang.
5.
Ulos
Pinuncaan
Ulos ini terdiri dari lima bagian
yang ditenun secara terpisah, kemudian disatukan hingga menjadi bentuk satu
ulos. Kegunaannya antara lain:
- Ulos jenis ini digunakan pada acara duka cita maupun suka cita, dalam acara adat ulos ini dipakai/ di sandang oleh Raja-Raja Adat.
- Juga digunakan pakai oleh masyarakat biasa selama memenuhi aturannya, misalnya, pada pesta perkawinan atau upacara adat di pakai oleh suhut sihabolonon/ Hasuhuton (tuan rumah).
- Pada pesta besar dalam acara marpaniaran (kelompok istri dari golongan hula-hula), ulos ini juga di pakai/ di lilit sebagai kain/ hohop-hohop oleh keluarga hasuhuton (tuan rumah).
- Ulos ini juga berfungsi sebagai Ulos Passamot pada acara Perkawinan. Ulos Passamot di berikan oleh Orang tua pengantin perempuan (Hula-hula) kepada ke dua orang tua pengantin dari pihak laki-laki (pangoli). Sebagai pertanda bahwa mereka telah sah menjadi saudara dekat.
6.
Ulos Ragi Hotang
Ulos ini di berikan kepada
sepasang pengantin yang sedang melaksanakan pesta adat yang di sebut dengan
nama Ulos Hela. Pemberian ulos Hela memiliki makna bahwa orang tua pengantin
perempuan telah menyetujui putrinya di persunting atau diperistri oleh
laki-laki yang telah di sebut sebagai “Hela” (menantu). Pemberian ulos ini
selalu di sertai dengan memberikan mandar Hela (Sarung Menantu) yang
menunjukkan bahwa laki-laki tersebut tidak boleh lagi berperilaku layaknya
seorang laki-laki lajang tetapi harus berperilaku sebagai orang tua. Dan sarung
tersebut di pakai dan di bawa untuk kegiatan-kegiatan adat.
7.
Ulos Ragi Huting
Ulos ini sekarang sudah Jarang di
pakai, konon pada jaman dulu sebelum Indonesia merdeka, anak perempuan
(gadis-gadis) memakai Ulos Ragi Huting ini sebagai pakaian sehari-hari yang
dililitkan di dada (Hoba-hoba) yang menunjukkan bahwa yang bersangkutan adalah
seorang putri (gadis perawan) batak Toba yang ber-adat.
8.
Ulos Sibolang Rasta Pamontari
Ulos ini di pakai untuk keperluan
duka dan suka cita, tetapi pada jaman sekarang, Ulos Sibolang bisa dikatakan
sebagai simbol duka cita, yang di pakai sebagai Ulos Saput (orang dewasa yang
meninggal tapi belum punya cucu) dan di pakai juga sebagai Ulos Tujung untuk
Janda dan Duda dengan kata lain kepada laki-laki yang ditinggal mati oleh istri
dan kepada perempuan yang di tinggal mati oleh suaminya.
9. Ulos Si
bunga Umbasang dan Ulos Simpar
Secara umum ulos ini hanya
berfungsi dan di pakai sebagai Selendang bagi para ibu-ibu sewaktu mengikuti
pelaksanaan segala jenis acara adat-istiadat yang kehadirannya sebatas undangan
biasa yang di sebut sebagai Panoropi (yang meramaikan) .
10.
Ulos Suri-suri Ganjang.
Ulos ini di pakai sebagai
Hande-hande (selendang) pada waktu margondang (menari dengan alunanan musik
Batak) dan juga di pergunakan oleh pihak Hula-hula (orang tua dari pihak istri)
untuk manggabei (memberikan berkat) kepada pihak borunya (keturunannya) karena
itu disebut juga Ulos gabe-gabe (berkat).
Kain ulos menggunakan dominan Putih, merah, kuning dan hitam, mempunyai arti tersendiri
seperti:
·
Putih: melambangkan
kesucian dan kejujuran
·
Merah: melambangkan kepahlawanan dan keberanian
·
Kuning:
melambangkan kekayaan/kesuburan
·
Hitam : melambangkan kedukaan
Kain ulos tidak dapat digunakan sembarangan, tetapi harus
sesuai dengan acara yang dilaksanakan.