Kami berteman sudah lebih dari
tiga puluh tahun, tempat kerja yang mempertemukannya. Kita sering dinas keluar kota bersama dan itu terjadi sejak
masih sama-sama gadis belia. Tak sengaja kita membeli rumah di daerah yang sama dan
ternyata tinggal bersebelahan,
bahkan tembok samping kita saling menempel.
Melihat secara lahiriah keduanya biasa
saja, sang suami bekerja di perusahaan penerbangan terbesar di Indonesia,
sebagai flight enginer. Saat baru pindah
kami sering ngobrol dibelakang
rumah. Duluuu….masih pake pompa tangan dan kalau lagi nyuci kita sambil
ngobrol, dia selalu numpang menjemur
pakaian di jemuran samping rumah yang dibuatkan suami. Tapi lama-lama ada aja
yang dimintanya, mulai dari sabun cuci, bumbu dapur dan lainnya. Bahkan
menguasai jemuranku, dia bilang “kamu jemurnya setelah baju-bajuku kering, karena
takut kecampur sama baju-baju kamu” Pertama aku diam
dan mencuci kalau dia tidak mencuci,
tapi lama-lama kesel juga. Itu kan
jemuran punya ku, kenapa aku yang harus
tersingkir.
Suatu hari aku menjawab saat aku nggak boleh
menjemur baju karena dia mau menjemur. “Yaaa…jangan jemur di sini lah kalau
takut kebawa aku” hihiiii..aku ketawa
dalam hati, emang mau jemur di mana dia. Alhamdulilah dia nggak jawab apa-apa
dan menjemur ditempat kosong setelah aku menjemur.
Seminggu setelah menikah aku pindah
ke rumah ini. Rumah yang aku beli setelah
setahun bekerja. Walau beli dengan cara
dicicil, tapi hasil keringat sendiri. Maklum rumah tangga baru, masih kosong alias
belum banyak isinya. Utamanya ada tempat tidur, lemari baju, meja makan dan
alat-alat dapur. Ruang tamu cukup pakai karpet & aku baru bisa merenovasi
kamar mandi aja, tapi belum sanggup bikin pagar. Tetangga juga baru tiga orang dari lima belas rumah saat aku pindah,
bahkan listrik belum masuk rumah. Tapi Pak RT baik hati, dia mencantolkan
listrik dari tiang listrik di depan rumah dan taraaa…..terang deh. Maklum rumah
KPR, kendaraan baru ada becak untuk keluar komplek. Untung ada jemputan setiap
kerja, jadi nggak repot cari angkot. Itu kondisi pada tahun delapan puluh empat
dan sekarang sangat strategis, karena dikeliligi mall, jalan tol, bahkan mau
kemana aja sangat mudah aksesnya.
Seiring berjalannya waktu
ekonomiku mulai stabil, tapi belum selesai dalam membantu biaya adik-adik
sekolah. Ya udah…yang penting ada tempat berteduh, renovasi nanti aja kalau
udah ada biaya yang penting nggak ada yang bocor…hehehhe….Sementara tetangga
sebelah rumahnya hampir selesai direnovasi, kendaraan roda empat baru juga terlihat parkir didepan rumahnya.
Ngiri?.....maaf nggak ada dalam kamusku rasa itu, aku sudah biasa dididik untuk
berjuang setiap ingin mendapatkan sesuatu. Nanti akan tiba waktunya.
Naah…pada suatu siang, aku sowan ke rumah sebelah
ingin lihat rumahnya setelah direnovasi. Setelah melihat-lihat, aku iseng aja tanya
“Habis berapa nih?”
“Waah… kamu nggak bakalan mampu deh kalau aku sebutin.” Suaminya juga ikut nimbrung, “Tau dunk
gimana orangtuaku. Tempat tinggal aja didaerah elit di Jakarta.” Hehehehe…..aku
hanya tertawa mendengar jawabannya.
Allah memang mboten sare, dia ternyata harus resign
karena telah berbadan dua. Namun menurut aku, toh suaminya masih bekerja dan
dia nggak menanggung biaya adik-adiknya. Tapi ternyata penghasilan suaminya tidak
sebesar istrinya, ekonominya mulai goyang. Loh kok aku tau
sih?......Taulah, karena dia mulai
mengganggu aku. Minta ini, minta itu, bahkan berani membuka tutup saji meja
makanku dan mencomot masakanku. Ealaaah…..norak banget sih! Apalagi ditambah
anak pertamanya lahir dan air susunya tidak keluar! Bayangin beli susu, udah
bikin dia puyeng kepala. Akhirnya terjadilah tragedi rumah tangga, mulai sering
cekcok dan setiap terjadi dia larinya ke rumahku. Bener-benar ngga beruntungnya
aku…hihihi. Sejauh ini ya aku berusaha
untuk membantunya, terutama mengurus anaknya kalau mereka sedang cekcok. Ternyata cekcok tersebut makin hari makin
hebat, ibaratnya nggak ada hari tanpa cekcok dan telah sampai ke telinga
orangtua si suami.
Kemana orangtuanya bercerita saat datang?... Sama aku
dan minta tolong memantau keadaan rumahtangga anaknya untuk dilaporkan ke
mereka. Yuhuuuuu….aku dan suami berpandangan, lalu meluncurlah kekesalan sang
ibu mertua. “Rumah sudah dibagusin, minta beli mobil juga dibeliin. Kok hasilnya seperti ini?” Keluh
sang mertua dan aku hanya senyum sambil mendengarkan tumpahan hatinya.
Ternyata si suami anak pertama, memiliki enam adik dan orangtuanya tajiiiiir. Aku
iri?.... Sekali lagi TIDAK! Aku bahkan bangga telah dididik orangtuaku untuk
bisa mandiri, menapaki hidup rumah tangga dari bawah dan berusaha membangun
dengan keringat sendiri. Lebih nikmat rasanya, tanpa merepotkan orangtua
setelah berumah tangga. Kalau bangga dengan kekayaan orangtua..yaa..percuma.
Aku malah bangga dapat mandiri dan merintis rumah
tangga dari bawah tanpa merepotkan orangtua. Saat aku pindah rumah, ada
beberapa alat rumah tangga yang akan disediakan orangtuaku, tapi aku tolak
dengan halus. Aku hanya ingin berusaha sendiri,
aku hanya butuh doa restunya
saja agar bisa membangun rumah tangga ini sampai
maut memisahkan. Dalam benakku, merintis
hidup dengan perjuangan bersama sesuai rencana kita berdua. Hal ini tentu akan
memberikan pelajaran terbaik buatku dan suami, seperti yang selama ini dajarkan
kedua orangtuaku.
Akhirnya aku bersedia menjadi penengah, untuk memenuhi
permintaan kedua mertuanya. Aku tulus membantu,
dia kan temanku. Setiap saat sang mertua menghubungi aku untuk mengetahui
perkembangan hubungan anaknya, dan allhamdulillah akhirnya damai kembali. Namun
kesombongan masih saja diperlihatkan. Menanggap dirinya anak orang kaya yang rumah orangtuanya terletak di daerah elit di Jakarta, terus
saja diikrarkan kesemua orang. Hampir
semua tetangga pernah diajaknya cekcok, tapi setelah mengetahui karakternya mereka maklum dan nggak melayani.
Kejadian besar menimpa suaminya yang tiba-tiba
dipecat dari tempatnya bekerja, karena sering ribut dengan melakukan demo. Untungnya masih diberikan uang pesangon, tapi
uang kesehatan dan pension diambil semua sekaligus. Terus…tau apa yang
dilakukannya?....dia hidup laksana bergelimangan harta, setelah uang habis dia
berusaha mencari pekerjaan kembali. Namun sayangnya, kalau bukan sebagai
manager, semua ditolaknya. Setelah tiga
tahun menganggur, temanku mulai mencarikan pekerjaan untuk suaminya ke
teman-temannya. Sayangnya, berita tentang kelakuan suaminya sudah banyak
diketahui orang dunia penerbangan. Tidak
satupun perusahaan yang bersedia
menerimanya. Sementara yang menopang kebutuhan hidup sehari-hari, anaknya
yang telah bekerja di kapal pesiar dan bantuan orangtuanya.
Terus saja seperti itu, sementara teman-teman
kantor seangkatannya telah hidup lebih mapan, bahkan melebihi dirinya. Dia tetap hidup bergaya borju yang
mengandalkan orangtua, anak-anaknya kuliahpun ditanggung orangtuanya. Namun
tidak ada perubahan sikap yang terlihat, sementara hutang di mana-mana termasuk
kepada ku. Setelah ibu mertuanya meninggal, dia mendapatkan warisan uang tunai
sebesar 1M (menurut cerita maminya, saat aku jenguk di rumah sakit). Berapa
besarpun uang yang diberikan, pasti akan habis dan itu pun demikian. Dua tahun
uang ludes, akhirnya tanpa malu pinjam uang kesana-kemari. Bahkan kepada
orang-orang yang dulu dia hina, dan rela menipu tetangga dengan banyak
dalih. Kemarin istri teman kantor suaminya,
cerita padaku. “Dulu aku dihina karena dari kampung dan sering suamiku
dibodoh-bodohi. Sekarang dia nggak malu minta uang sama suamiku. Ternyata Allah
membalikkan keadaanya, sekarang dia berada dibawah dan mungkin inilah buah dari
kesombongannya”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar